Selasa, 27 Mei 2014

Aliansi Terapeutik


a.       Pengertian Aliansi Terapeutik
Konsep aliansi terapeutik berasal dari studi terhadap hubungan terapeutik. Aliansi merepresentasikan elemen kerja tertentu dari hubungan antara konselor dan konseli (Horvath & Bedi, 2002). Menurut Gelso dan Carter (1985), hubungan dalam konseling mencakup tiga bagian utama yakni : (1) tranferensi dan countertransferensi, yang mengacu pada reaksi seseorang pada orang lain dengan berdasarkan atas hubungan signifikan dengan orang tertentu dan konflik psikodinamik yang tidak terselesaikan; (2) aliansi; dan (3) hubungan sebenarnya, yakni ikatan afektif antara konselor dan konseli terlepas dari hubungan kerja keduanya.
Beberapa ahli mengemukakan pengertian aliansi terapeutik secara umum, namun beberapa di antaranya mengemukakan pengertian aliansi terapeutik berdasarkan teori konseling tertentu.
Daddario & Kishimoto (2011) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik merupakan hubungan yang menekankan pada rekanan yang bersifat kolaboratif antara konselor dan konseli. Rekanan tersebut meliputi tujuan dan preferensi konseli terkait proses konseling serta metode untuk mencapai tujuan tersebut. Aliansi terapeutik terutama dibentuk oleh kemampuan ‘mendengarkan’ konseli tanpa berprasangka dan tanpa memberikan saran yang tidak bertanggungjawab atas masalah konseli.
Rogers (1957; dalam Green et al, 2012) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik terjadi ketika konselor memberikan kondisi yang ‘diperlukan’ dan ‘memadai’ bagi konseli. Kondisi tersebut mencakup ketulusan, empati, dan penerimaan tanpa syarat yang diarahkan untuk mencapai perubahan kepribadian secara terapeutik.
Novick dan Novick (1996) merangkum konsep-konsep penting terkait aliansi terapeutik, antara lain :
1)      Transferensi merupakan motif dari aliansi terapeutik
2)      Empati konselor merupakan kualitas utama dalam pembinaan aliansi terapeutik
3)      Aliansi terapeutik merupakan kolaborasi dengan ego konseli
4)      Aliansi terapeutik merupakan ruang yang memungkinkan realisasi bahwa konselor dan konseli merupakan dua orang manusia, dengan status yang sederajat, dalam suatu hubungan personal terhadap satu sama lain
5)      Motif tidak sadar, baik negative maupun positif, berperan dalam pemeliharaan dan keberfungsian aliansi terapeutik
6)      Salah satu motif yang mendorong terjalinnya aliansi terapeutik adalah pemenuhan kebutuhan ego
7)      Aliansi terapeutik dapat menjadi tidak stabil dan rawan terhadap resistensi dan konlik
8)      Aliansi terapeutik seperti halnya interaksi awal anak-orangtua, oleh karena itu isu-isu perkembangan sangat krusial dalam pembinaan dan pemeliharaan aliansi terapeutik
9)      Aliansi terapeutik memang penting, namun bukan satu-satunya hal yang menentukan  perubahan terapeutik
10)  Aliansi terapeutik membutuhkan intervensi aktif dari konselor untuk berkonsolidasi dengan konseli.

Selain itu, Novick dan Novick (1994) juga mengemukakan delapan prinsip umum terkait aliansi terapeutik, yakni :
1)      Konsep aliansi terapeutik sama seperti lensa yang menyoroti fitur-fitur tertentu dari suatu materi. Materi tersebut akan tetap sama tiap kali lensa tersebut digunakan
2)      Penting untuk membedakan kemampuan konselor untuk membina aliansi dengan kemampuan untuk mendorong kesepakatan atas tujuan konseling
3)      Aliansi terapeutik didorong oleh keyakinan rasional dan irrasional, tujuan positif dan negative, serta keinginan masa kini dan masa lalu
4)      Aliansi terapeutik tidak selalu stabil, bergantung pada tahapan konseling, kemunculan konflik, serta komponen lainnya. Fluktuasi dari aliansi terapeutik ini memungkinkan konselor untuk melihat, membagi, dan menafsirkan konflik, pertahanan diri, kecemasan, dan transferensi dari konseli. Fluktuasi ini juga dapat tersaji sebagai indicator adanya konflik, resistensi dan perubahan dalam proses konseling.
5)      Tanggungjawab untuk memulai aliansi terapeutik berada di tangan konselor
6)      Masing-masing tahapan konseling memiliki tugas-tugas aliansi terapeutik tersendiri
7)      Aliansi terapeutik harus didukung oleh rekanan yang setara antara konselor dan konseli
8)      Aliansi terapeutik merupakan konsep relasional. Oleh karenanya, dibutuhkan keterlibatan dan masukan dari dua pihak. Aliansi tidak memihak terhadap konselor saja atau konseli saja melainkan suatu kerja gabungan yang hanya akan terselenggara atas kolaborasi dan saling interaksi antara keduanya.

b.      Komponen Aliansi Terapeutik
Bordin (1979; dalam Dryden & Reeves, 2008) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik terbagi menjadi tiga komponen yakni Bond atau ikatan, Goal atau tujuan dan Task atau tugas, berikut penjelasannya.
1)      Bond
Ketika ikatan antara konselor dan konseli menjadi focus pertimbangan utama, beberapa konsepsi dalam konseling menjadi mutlak. Konsepsi pertama berkaitan dengan sikap interpersonal konselor dan dampaknya terhadap konseli. Mearns & Thorne (2007) mengemukakan bahwa ketika konselor (1) menampilkan pemahaman empatik terhadap persoalan konseli, (2) menampilkan ketulusan dalam pertemuan konseling, dan (3) menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai individu, kemudian konseli merasakan sikap konselor tersebut, maka konseli akan cenderung bergerak kea rah pertumbuhan psikologis yang lebih baik. Konsepsi kedua terkait dengan area sikap dan perasaan konseli terhadap konselor. Kepercayaan konseli terhadap konselor, rasa aman yang diperoleh dalam hubungan dengan konselor, dan tingkat kesetiaan terhadap konselor menjadi hal penting yang perlu dikembangkan dan dipelihara selama proses konseling. Konsepsi ketiga terkait dengan area gaya interpersonal konseli dan konselor. Area ini  lebih interaktif dibandingkan kedua area sebelumnya karena menuntut adanya penyesuaian gaya interpersonal antara konselor dan konseli. Ketidaksesuaian dalam hal gaya interpersonal akan membawa konseling pada arah yang kurang efektif. Tugas konselor adalah untuk memodifikasi gaya interpersonal pribadinya dengan gaya interpersonal konseli, setelah aliansi terapeutik terbina dan mulai menguat, maka konselor dapat secara perlahan-lahan kembali pada gaya interpersonal pribadinya yang asli. Konsepsi yang terakhir terkait dengan transferensi dan konter-transferensi dalam proses konseling.

2)      Goal
Tujuan merupakan hal yang ingin dicapai oleh konselor dan konseli dalam proses konseling dan dipermudah pencapaiannya melalui aliansi terapeutik yang positif dan efektif. Pada awal proses konseling tujuan aliansi terapeutik mungkin terlihat mudah, sebatas konseli yang bermasalah, ingin terbebas dari masalah tersebut dan menjalani hidup yang lebih bermakna. Tugas konselor adalah membantu konseli tersebut mencapai tujuannya. Namun situasi sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Karenanya tujuan menjadi pertimbangan utama dalam pembinaan aliansi terapeutik. Bordin (1979; dalam Dryden & Reeves, 2008) mengemukakan bahwa hasil terapeutik yang baik difasilitasi oleh kesepakatan konselor dan konseli terkait tujuan yang ingin dicapai konseli serta kesepakatan untuk bekerjasama mencapai tujuan tersebut. Bordin terutama memperhatikan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan hasil akhir konseling. Hal tersebut menegaskan adanya sumber-sumber potensial dari kegagalan atau hambatan dari proses konseling. Aliansi terapeutik terutama terhambat ketika konselor dan konseli memiliki tujuan yang berbeda dalam pikiran masing-masing. Oleh karena itu sebaiknya tujuan aliansi terapeutik dikemukakan secara jujur dan apabila terdapat perbedaan maka diselesaikan melalui diskusi dan konsolidasi.

3)      Task
Tugas merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh konselor dan konseli yang mengarah pada upaya pencapaian tujuan. Beberapa tugas bisa saja sangat umum dan luas, misalnya terlibat dalam upaya eksplorasi diri dalam konseling terpusat pada pribadi, beberapa lainnya mungkin sangat spesifik, misalnya terlibat dalam dialog empat mata pada konseling Gestalt. Tugas-tugas konselor biasanya terkait dengan teknik konseling yang digunakan dalam proses konseling. Konseli perlu mengetahui teknik yang akan dilakukan dan apa manfaat yang diperolehnya dari teknik tersebut. Dengan demikian, akan mempermudah tugas konselor dalam melakukan tugas. Dari perspektif aliansi terapeutik, tingkat kemajuan konseli dipengaruhi oleh tingkat keterampilan konselor dalam melakukan tugas-tugasnya. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa factor keterampilan memerlukan perhatian lebih dalam pelatihan dan supervise konseling. Pendidik konselor dan supervisor memerlukan bukti yang konkrit dan detail terkait seberapa terampil konselor melaksanakan tugasnya bukan sekedar mendengarkan pemaparan konselor tentang apa-apa yang telah dilakukannya dalam proses konseling.

c.       Karakteristik Konselor yang diasosiasikan dengan Keterampilan Membina Aliansi Terapeutik
Terdapat beberapa karakteristik pribadi konselor yang dapat mendukung maupun menghambat pembinaan aliansi terapeutik dalam proses konseling. Berikut adalah pemaparannya.
1)      Karakteristik konselor yang mendukung terciptanya aliansi terapeutik yang positif
a)      Fleksibel dan menerima konseli untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang dianggap penting
b)      Menghormati dan menghargai konseli
c)      Hangat, ramah dan afirmatif
d)     Terbuka (dalam hal ini tidak terkesan misterius atau menyembunyikan hal-hal tertentu dari konseli)
e)      Peka dan aktif
f)       Mampu menunjukkan kejujuran melalui refleksi diri
g)      Dapat dipercaya dan menjaga kepercayaan konseli

2)      Karakteristik konselor yang menghambat terciptanya aliansi terapeutik yang positif
a)      Kaku dan dingin
b)      Terlalu kritis
c)      Menampilkan keterbukaan diri yang kurang pantas
d)     Menjaga jarak dari konseli
e)      Angkuh
f)       Terlihat kacau dan tidak focus

g)      Membuat jeda diam yang tidak menyamankan dalam percakapan dengan konseli


Referensi : 

Ackerman, S. J., & Hilsenroth, M. J. (2001). A review of therapist characteristics and techniques negatively impacting the therapeutic alliance. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, 38, 171–185.
Ackerman, S. J., & Hilsenroth, M. J. (2003). A review of therapist characteristics and techniques positively impacting the therapeutic alliance. Clinical Psychology Review, 23, 1–33.
Bedi, R.P., Davis, M. D., Arvay, M.J. (2005). The Client’s Perspective on Forming a Counselling Alliance and Implications for Research on Counsellor Training. Canadian Journal of Counselling Vol.39 : 2.
Blocher, Donald. H. (1987).  The Professional Counselor.  New York : Macmillan Publishing Company.
Brammer, Lawrence. M. (1979). The Helping Relationship : Process and Skills (Second Edition). New Jersey, USA : Prentice-Hall.
Brown, Steven. D & Lent, Robert. W. (1984). Handbook of Counseling Psychology. Canada : John Wiley and Sons Inc.
Carkhuff, Robert. R & Anthony, William. A. (1979). The Skills of Helping. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Carkhuff, Robert. R & Pierce, Richard. M. (1977). The Art of Helping : Trainer’s Guide. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Carkhuff, Robert. R. (1983). The Art of Helping : Fifth Edition. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Cavanagh, Michael. E. (1982). The Counseling Experience : A Theoritical and Practical Approach. Belmont, California : Wadsworth Inc.
Daddario, A & Kishimoto, E. (2011).  Therapeutic Alliance Activity Quiz : Modul. COSIG Mobile Team : Australia.
DeGeorge, J oan. (2008). Empathy and the Therapeutic Alliance: Their Relationship to Each Other and to Outcome in Cognitive-Behavioral Therapy for Generalized Anxiety Disorder. Masters Theses : Paper 179.
Hackney, Harold. L & Cormier, Sherry. (2009).  The Professional Counselor : A Process guide to helping (sixth edition). New Jersey : Pearson Education Inc.
Novick, K. (1996). An Application of The Concept of The Therapeutic Alliance to Sadomasochistic Pathology. University of Michigan : Amerika.
Okun, Barbara. F. (1987). Effective Helping Interviewing and Counseling Techniques : Third Edition. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.
Safran J.D. and Muran J.C. (2000) Negotiating the therapeutic alliance New York: Guilford  Press.
Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling : Edisi Pertama. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Willis, Sofyan. S. (2004). Konseling Individual : Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.

Senin, 20 Agustus 2012

Upaya Peningkatan Resiliensi Remaja melalui Bimbingan dan Konseling Komprehensif


A.    Pendahuluan
Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat menggantikan generasi-generasi sebelumnya dengan kualitas kinerja dan mental yang lebih baik. Terlebih dalam menghadapi era global saat ini kesiapan remaja sebagai bagian dari sumber daya manusia yang berpotensi sangatlah diharapkan peranannya untuk turut serta membangun bangsa Indonesia agar dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Remaja dalam peranannya sebagai generasi penerus bangsa diharapkan mempunyai kualitas kinerja dan mental yang baik, sebagai modal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin bangsa.
Masa remaja seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.
Seorang remaja memerlukan perhatian yang lebih besar dari orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi dari kehidupan anak-anak menuju kehidupan orang dewasa. Sudah pasti masa transisi ini diwarnai oleh berbagai perubahan baik psikis maupun fisik. Mendukung pernyataan tersebut, Hurlock (2003:193) berpendapat bahwa masa remaja dianggap sebagai periode badai dan tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan hormonal. Oleh karena itu, remaja merupakan tahap perkembangan yang sangat rentan terhadap berbagai jenis kendala, dan apabila kendala tersebut tidak dapat diatasi dengan baik, maka proses perkembangan akan terganggu atau malah terhambat.
Timbulnya berbagai kendala dalam proses perkembangan remaja disebabkan oleh berbagai faktor yang sangat kompleks. Salah satu faktor penyebab munculnya kendala dalam perkembangan remaja adalah pengalaman terhadap adversitas. Adversitas dapat berupa musibah, pengalaman buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak menyenangkan, kondisi sarat resiko (high-risk), stressor yang dianggap berat dan trauma. Pengalaman terhadap adversitas ini dapat memicu konflik dalam diri remaja yang membuat mereka rentan terhadap berbagai perilaku maladaptif.
Schoon (2006:5) mengemukakan bahwa adversitas dapat membawa pada resiko, remaja beresiko (at-risk adolesence) biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable adolesence) dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk menjadi remaja bermasalah (troubled adolesence).
Andrews, Bonta & Wormith (2004; dalam www.publicsafety.gc.ca)  melakukan survey terhadap 955 orang narapidana usia remaja di penjara Canada. Hasil survey menunjukkan bahwa 43,6% dari responden pernah mengalami adversitas pada kategori berat dalam hal intensitas dan juga frekuensi, 15% mengalami adversitas pada kategori sedang, 5% mengalami adversitas pada kategori ringan, dan sisanya tidak pernah mengalami. Hasil survey ini menunjukkan bahwa remaja bermasalah hukum sebagian besar terindikasi pernah mengalami adversitas yang dianggap terlalu sulit untuk dihadapi.
Beberapa laporan hasil survey mengungkap bahwa pengalaman terhadap adversitas berkaitan dengan kerentanan remaja terhadap penggunaan obat terlarang, dan berbagai bentuk kenakalan remaja lainnya. Situs legalinfo-online.com (2011) mencatat bahwa kurangnya kasih sayang orang tua, konflik parental berkelanjutan dan minimnya supervisi dari orang tua memiliki pengaruh sekitar 76% terhadap kecenderungan drug abuse pada remaja.
Di Indonesia sendiri, harian Kabar Cirebon pada 20 Agustus 2011 (www.kabar-cirebon.com) melansir bahwa sekitar 3362 juta jiwa penduduk Indonesia teridentifikasi menggunakan narkoba dan 1355 juta atau 40,3% diantaranya merupakan pelajar. Dari jumlah tersebut terungkap bahwa 90% pelajar menggunakan narkoba sebagai akibat dari masalah keluarga atau broken home, mereka melampiaskan kekesalan atas perpecahan keluarga dengan cara menjadi pecandu narkoba.
Masih terkait dengan isu kenakalan remaja, Kappara (2011; dalam www.pusatremaja.com), mengemukakan bahwa  kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik masa lalu yang tidak terselesaikan dengan baik dalam diri para pelakunya. Seringkali didapati bahwa pelaku kenakalan remaja memiliki trauma dalam masa lalunya, contohnya seperti perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, pengalaman buruk maupun kondisi yang memicu stress seperti kondisi perekonomian keluarga yang kurang baik.
Selain berakibat pada kecenderungan terjadinya kenakalan remaja, pengalaman terhadap adversitas juga dapat mempengaruhi kondisi mental seseorang. Orang yang baru mengalami adversitas biasanya akan menjadi rapuh dan sangat beresiko terhadap berbagai masalah kejiwaan yang patologis seperti frustasi, depresi, paranoid, kesedihan berkepanjangan, histeria, stress berat, schizofrenia, dan akibat fatal lainnya seperti bunuh diri (Morland, 1999:40).
Menurut Centers for Disease Control Youth Risk Behaviour Surveilance System (2002), sedikitnya 12% remaja mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri dan bunuh diri menjadi penyebab utama ketiga kematian muda-mudi berusia 15-24 tahun di Amerika Serikat. Tiga juta remaja di dunia berjuang dengan depresi setiap jamnya, namun hanya sepertiganya yang mendapat pelayanan kesehatan mental dari pihak yang relevan.
Situs www.depression-doctor.com (2009) mencatat bahwa 41% kasus bunuh diri pada remaja disebabkan oleh ketidakstabilan mental akibat dukacita kehilangan orang yang dikasihi atau orang yang dikagumi (grief-related suicide), 15% kasus dikarenakan oleh stress karena tuntutan hidup dan 5% yang dikarenakan alasan yang kurang jelas.
Dari sejumlah fakta yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa remaja yang pernah mengalami adversitas cenderung lebih rentan terhadap berbagai penyimpangan dan masalah perilaku. Kematian orang yang dicintai, kehancuran keluarga, kehilangan harta benda, penyakit kronis, kemiskinan, bencana alam, terorisme, perang dan kecelakaan merupakan sebagian kecil contoh dari adversitas yang mungkin dialami seseorang. Kebanyakan orang bereaksi terhadap adversitas tersebut dengan emosi yang kuat dan meluap-luap, disertai rasa gamang dan ketidakpastian. Akan tetapi ada pula orang yang berhasil mengatasi adversitas tersebut kemudian beradaptasi secara lebih kompeten terhadap kehidupan yang berlangsung setelahnya.
Ada individu yang mampu bertahan dan pulih secara efektif namun ada pula individu yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan. Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau bertahan ditengah lingkungan dengan tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan, hal tersebut menunjukkan adanya kemampuan tertentu dalam diri individu yang dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade &Frederikson, 2004:4).
Istilah resiliensi berasal dari kata Latin ‘resilire’ yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau diregangkan. Istilah resiliensi juga banyak digunakan dalam bidang mekanika, aviasi dan komputerisasi. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, resiliency berarti gaya pegas, daya kenyal, kegembiraan, keuletan (Echols & Shadily, 1997; dalam Desmita, 2009:200), ketahanan (Smet, 1994; dalam Desmita, 2009:200), daya lentur (Siregar, 2001; dalam Desmita, 2009:200), daya lambung atau daya lenting (Irawati, 2008:2). Bila digunakan sebagai istilah dalam bidang psikologi, resiliensi merupakan kemampuan manusia untuk cepat pulih dari perubahan, kesakitan, kemalangan atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005; dalam Desmita, 2009:200).
Asumsi mendasar dalam studi mengenai resiliensi adalah bahwa beberapa individu tetap baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi yang sarat adversitas dan beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal beradaptasi dan terperosok dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi (Schoon, 2006:9).
Liquanti (1992:2) menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang dimana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perubahan dalam lingkungan. Mereka juga senantiasa terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan akademik, depresi, stres berkepanjangan, perilaku menyimpang dan gangguan mental.
Beberapa hasil penelitian mendukung bahwa rendahnya tingkat resiliensi dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari adversitas. Masten (1994; dalam Davis, 2009:1) melakukan penelitian longitudinal dan cross sectional. Topik yang diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan berbagai permasalahan keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa, kesulitan finansial, ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan penganiayaan. Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang mengalami penelantaran dan penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri yang rendah dan tumbuh menjadi orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam perkembangannya lebih banyak peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu mengatasi tekanan yang ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.
Morland (1996; dalam Barnard, 1999:40), mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan faktor-faktor resiliensi yang rendah dalam diri anak atau remaja terutama yang berasal dari kelompok sosioekonomi rendah dan yang telah mengalami dukacita kehilangan orangtua.
Irawati (2008; dalam kompas.com, 2010) melakukan penelitian terhadap resiliensi remaja dari keluarga brokenhome. Hasil penelitian mengungkap bahwa hanya 17% dari remaja brokenhome yang mampu membekali diri dengan kemampuan resiliensi dalam menghadapi berbagai persoalan yang datang setelah perceraian orangtua, sebanyak 58% cenderung mengalami masalah kepribadian dan 26% terlibat dalam aksi kenakalan remaja.
Rendahnya resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak dibiarkan, remaja perlu diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri mereka, agar mereka memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan dalam situasi yang sarat perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era globalisasi saat ini. Individu yang resilien merupakan komponen dasar pembentuk keluarga atau organisasi yang resilien dan keluarga atau organisasi yang resilien merupakan prasyarat terciptanya masyarakat atau komunitas yang resilien, dengan masyarakat atau komunitas yang resilien maka kokohnya ketahanan bangsa bukan suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Sejumlah fakta empiris mengenai pengalaman adversitas dan kaitannya dengan kecenderungan terhadap berbagai gangguan perilaku semakin menambah penekanan pentingnya resiliensi dalam diri remaja. Hal ini mengisyaratkan perlunya upaya sistematis yang lebih terkoordinasi dan terprogram dengan baik dalam rangka meningkatkan resiliensi remaja, khususnya remaja dengan pengalaman terhadap adversitas dan beresiko tinggi terhadap gangguan perilaku dan kegagalan akademik di sekolah.
Meskipun mengalami berbagai adversitas yang memiliki dampak signifikan, siswa dengan tingkat resiliensi tinggi akan mampu mengelola dampak negatif dari adversitas menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan sarat tekanan dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal. Oleh karena itu resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis siswa. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas, insight. Bahkan resiliensi diakui sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan siswa dalam kehidupan, termasuk keberhasilan dalam belajar di sekolah (Desmita, 2009:199).
Sebagai lembaga yang mengakomodir peran remaja sebagai siswa atau peserta didik, sekolah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut. Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas untuk keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik.
Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah juga turut bertanggung jawab dalam mendukung pengembangan karakteristik yang mendukung peningkatan resiliensi siswa. Berkenaan dengan hal tersebut, konselor sekolah memiliki tanggungjawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi melalui layanan bimbingan dan konseling yang bermutu dan tepat sasaran (ASCA, 2004; dalam Castro, Johnson, & Smith, 2010).
Namun, untuk dapat memberikan layanan bermutu dan tepat sasaran seperti yang diharapkan, konselor tidak hanya dituntut untuk memiliki profesionalisme tapi juga pengetahuan dan keterampilan yang memadai seputar teori dan pendekatan konseling. Pendekatan konseling yang telah teruji efektif tentunya akan sangat membantu pemberian layanan bimbingan dan konseling yang difokuskan untuk menangani berbagai permasalahan siswa, baik yang sifatnya akademik maupun non-akademik, yakni salah satunya intervensi konseling yang bertujuan untuk meningkatkan resiliensi siswa.

B.    Konsep Seputar Resiliensi
Resiliensi pada prinsipnya adalah sebuah konsep yang relatif baru, dalam khasanah psikologi. Paradigma resiliensi didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi dan sosiologi, tentang bagaimana anak, remaja dan orang dewasa dapat bangkit kembali dan bertahan dari kondisi stress, trauma dan resiko dalam kehidupan mereka. Sejumlah studi yang muncul dalam bidang resiliensi ini menolak pandangan yang menganggap bahwa stress dan resiko (termasuk penyimpangan, kerugian, kesalahan atau tekanan-tekanan hidup lainnya) merupakan petaka tidak terelakkan yang dapat menyebabkan berkembangnya psikopatologi atau penderitaan abadi dalam lingkaran kemiskinan, penyimpangan, kekerasan atau kegagalan dalam pendidikan (Desmita, 2006:198).
Riedl (Henderson & Milstein, 2003:4) mengintrodusir istilah resiliensi psikologis pada tahun 1969, kemudian istilah resiliensi diadopsi sebagai ganti istilah yang sebelumnya telah digunakan para peneliti utuk menggambarkan fenomena seperti invulnerable (kekebalan), invicible (ketangguhan) dan hardy (kekuatan) karena dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan.
Garmezy (1973) mempublikasikan penemuan penelitian pertama terkait resiliensi. Garmezy meneliti tentang epidemiologi (ilmu tentang penyakit) yang kemudian mengungkap faktor protektif dan faktor resiko, kedua faktor tersebut pada saat ini dianggap sangat membantu dalam mendefinisikan resiliensi. Garmezy dan Streitman (1974)  kemudian menyusun instrumen dan perangkat yang ditujukan untuk mencari sistem yang dapat mendukung pengembangan resiliensi (Schoon, 2006:5).
Werner (1982, dalam Schoon, 2006:5) merupakan  salah satu ilmuwan yang pertama-tama menggunakan istilah resiliensi dalam karya ilmiah. Penelitian longitudinal selama 30 tahun dilakukan Werner terhadap anak-anak di pulau Kauai, Hawaii. Kauai adalah pulau yang sangat miskin, banyak orangtua yang tidak bekerja dan banyak anak yang tumbuh besar dengan orangtua yang alkoholik dan yang mentalnya terganggu. Werner mencatat bahwa dari seluruh anak yang tumbuh dan berkembang dalam situasi yang buruk semacam itu, dua pertiga di antaranya menunjukkan perilaku destruktif di usia remaja seperti penggunaan obat terlarang, tidak mau bekerja, dan pada remaja perempuan banyak yang hamil diluar ikatan pernikahan. Sementara itu, satu pertiga di antaranya tidak menunjukkan adanya perilaku destruktif, kelompok ini disebut Werner sebagai kelompok yang resilien. Anak yang resilien memiliki karakteristik dan ciri tertentu yang membedakan mereka dari anak yang non-resilien.
Masten (1989) membawa resiliensi menjadi topik penelitian dan teori yang sangat populer terutama di bidang penelitian tentang anak-anak dengan orangtua penderita schizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa anak yang memiliki ibu penderita schizofrenia tetap kompeten dalam bidang akademik, temuan ini membuat para peneliti tertarik utuk memahami respon terhadap adversitas yang dimiliki oleh anak-anak tersebut dan anak dari lingkungan kurang menguntungkan lainnya (Schoon, 2006:7).
Pada tahun 1990-an, banyak studi di bidang pengembangan individu beresiko telah mencoba untuk memahami berbagai permasalahan dalam penyesuaian dan masalah yang mengikutinya seperti kegagalan akademik, perilaku bermasalah, kurang motivasi, kesehatan buruk dan gangguan kejiwaan. Akhirnya muncul perubahan fokus dari paradigma patogenis yang berpusat pada deficit and disease model menjadi fokus terhadap hasil penyesuaian yang adaptif sebagaimana dikemukakan oleh Antonovsky (1989) ‘daripada mempertanyakan apa yang dapat mencegah individu agar tidak jatuh sakit lebih baik mempertanyakan bagaimana individu dapat menjadi lebih sehat’. Perubahan fokus studi dari yang berorientasi terhadap kegagalan adaptasional menuju orientasi terhadap hasil yang positif juga berimplikasi pada lahirnya banyak penelitian mengenai resiliensi di abad ke-21 (Schoon, 2006:9).

C.     Peningkatan Resiliensi Remaja Melalui Aplikasi Model Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Para peneliti memandang resiliensi sebagai suatu proses yang dinamis dibanding sebagai suatu sifat. Hal ini berarti bahwa resiliensi merupakan kapasitas individu yang diperoleh melalui proses belajar dan pengalaman lingkungan. Resiliensi merupakan sikap dan keterampilan yang dapat dipelajari dan dikembangkan oleh setiap individu, namun untuk dapat mendukung perkembangan resiliensi dan membantu individu memelihara kemampuan resiliensi dalam diri mereka, diperlukan lingkungan yang fasilitatif, kondusif dan motivasional. Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terutama sangat berperan penting dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut (Desmita, 2006:198).  
Sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan anak dan remaja. Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa untuk mengembangkan kapasitas untuk keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (Henderson dan Millstein, 2003; dalam Desmita, 2006:210).
Sehubungan dengan peran sentral sekolah dalam membantu perkembangan resiliensi siswa Henderson dan Millstein (Desmita, 2006:210) menulis :
‘the evidence that school as organizations and education in general can be powerful resiliency builders abounds next to families, school are the most likely place for student to experience the condition that foster resiliency. Though school have the power of resiliency building more can be done to ensure that it happens for all student.’

Dengan demikian jelas bahwa sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat memungkinkan membantu siswa mengembangkan resiliensi. Sebagai sebuah organisasi dan institusi pendidikan sekolah dapat menjadi kekuatan besar bagi pengembangan resiliensi siswa. Seperti halnya keluarga dan masyarakat, sekolah juga dapat memberikan lingkungan dan kondisi yang membantu perkembangan faktor protektif siswa. Membangun resiliensi siswa membutuhkan kerjasama dari guru, karyawan, pegawai, kepala sekolah, dan seluruh warga sekolah yang juga resilien.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah dalam rangka membangun resiliensi siswa adalah dengan mengimplementasikan suatu upaya yang bersifat sistemik, tidak hanya sekedar sistematis. Upaya sistemik dan sistematik tersebut diejawantahkan dalam suatu model bimbingan dan konseling yang menempatkan individu sebagai pusat sistem dan menciptakan hubungan antar subsistem yang mempengaruhi individu ke arah perkembangan positif atau dikenal dengan model bimbingan dan konseling komprehensif (Erford, 2004).
Model bimbingan dan konseling komprehensif dirancang menjadi bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Integrasi antara model bimbingan dan konseling dengan keseluruhan program pendidikan di sekolah yang bertujuan mengembangkan aspek intelektual dan berbagai keterampilan hidup diharapkan akan memberi pengaruh terhadap pembentukan kompetensi peserta didik yang lebih utuh (Gysbers, 2006:18).
Model bimbingan dan konseling komprehensif merupakan salah satu bentuk inovasi kontemporer dalam bimbingan dan konseling. Model bimbingan dan konseling komprehensif berbeda secara substansial dengan model bimbingan dan konseling yang berlangsung selama ini. Perbedaan tersebut mencakup aspek filosofi, prinsip, sejarah, isi strategi dan komponen (Gysbers, 2006:18).
Konselor sekolah atau guru bimbingan dan konseling, memegang peran sentral dalam pengimplementasian model bimbingan dan konseling komprehensif di sekolah. Konselor sekolah memiliki tanggungjawab etis untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di sekolah tersebut sampai level tertinggi (ASCA, 2004; dalam Castro, Johnson, & Smith, 2010). Karena konselor berhadapan dengan populasi siswa yang sangat besar, sekitar 1:500 (jumlah yang direkomendasikan oleh ASCA adalah 1:250) maka upaya yang paling efektif untuk memberikan layanan pada seluruh siswa adalah melalui program bimbingan dan konseling komprehensif. Iklim sekolah, prestasi akademik, tingkat kehadiran, dan gangguan perilaku akan memperoleh dampak positif apabila program bimbingan dan konseling komprehensif dapat terlaksana dengan sukses (Brigman & Campbell, 2003; Lapan, Gysbers, & Petroski, 2001; dalam Castro, Johnson, & Smith, 2010).
Konselor sekolah yang profesional juga memiliki peran penting dan unik dalam meningkatkan, memfasilitasi dan mengadvokasikan keberhasilan kerjasama antara orangtua siswa, sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan program bimbingan dan konseling komprehensif yang bertujuan untuk mencapai kesuksesan pribadi, sosial, karir dan akademik bagi seluruh siswa (ASCA, 2010; dalam schoolcounselor.org, 2010).
Reformasi pendidikan dan reformasi bimbingan konseling di sekolah mensyaratkan keterlibatan konselor sekolah dalam meningkatkan kolaborasi antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dalam mendukung kesuksesan siswa (Amatea & West-Olatunji, 2007; Bosworth & Walz, 2005; Bryan, 2005; Ratts, et al., 2007; dalam schoolcounselor.org, 2010).  Keterlibatan keluarga dan masyarakat dapat menguntungkan siswa dan pihak sekolah, karena dapat membantu dalam memperbaiki iklim sekolah, memfasilitasi tingkat kehadiran dan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar, membantu pengembangan karir siswa, dan meningkatkan resiliensi siswa (Epstein & Sheldon, 2006; dalam schoolcounselor.org, 2010).
Upaya peningkatan resiliensi siswa dapat dielaborasikan dalam keempat komponen program bimbingan dan konseling komprehensif. Berikut adalah penjelasan mengenai komponen program dan upaya peningkatan resiliensi yang dapat diintegrasikan di dalam tiap-tiap komponen :

1.     Komponen Kurikulum Bimbingan
Kurikulum bimbingan dalam konteks bimbingan dan konseling komprehensif memiliki asumsi bahwa progam bimbingan dan konseling berisi hal-hal yang harus dipelajari siswa dalam cara yang sistematis dan sekuensial. Oleh karena itu konselor harus terlibat dalam proses belajar mengajar sebagai sumber yang memahami kurikulum bimbingan serta dapat mengajarkannya pada seluruh staff sekolah. Kurikulum bimbingan biasanya terdiri atas seperangkat kompetensi siswa berdasarkan bidang layanan atau aspek perkembangan dan aktifitas terstruktur yang secara sistematis disampaikan melalui strategi bimbingan klasikal (classroom activities) dan aktivitas kelompok (Gysbers, 2006:25).
Melalui komponen kurikulum bimbingan, konselor sekolah dapat melakukan upaya prevensi dengan cara mendesain kurikulum berbasis peningkatan resiliensi siswa yang disampaikan melalui kegiatan bimbingan klasikal atau aktivitas kelompok dengan topik peningkatan resiliensi. Konselor sekolah juga dapat berkolaborasi dengan staf guru, administrator sekolah, komite sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat setempat untuk menciptakan suatu lingkungan yang dapat memberikan faktor protektif yang diperlukan bagi pengembangan resiliensi siswa, misalnya dengan mengkampanyekan kebebasan berkreasi bagi siswa.

2.     Komponen Layanan Responsif
Layanan responsif merupakan layanan yang bertujuan membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhan yang dirasa mendesak dan memecahkan masalah yang dialami siswa, dengan kata lain membantu siswa yang mengalami hambatan maupun kegagalan dalam proses perkembangan. Tujuan lain dari layanan responsif adalah mengintervensi masalah-masalah atau kepedulian pribadi siswa yang muncul segera dan dirasakan pada saat itu. Materi layanan responsif bergantung pada masalah atau kebutuhan siswa, biasanya mencakup penanganan stress akademik, masalah keluarga, penggunaan obat terlarang, alkoholik, rokok, free sex, dan  sebagainya. Strategi yang digunakan dalam penyampaian layanan responsif adalah konseling individual, konseling kelompok kecil (small group counseling), konsultasi dan referal atau alih tangan kasus (Gysbers, 2006:26).
Rendahnya tingkat resiliensi yang menyebabkan kerentanan siswa terhadap berbagai resiko adversitas berupa permasalahan akademik maupun non-akademik, memerlukan upaya intervensi yang sifatnya segera dan upaya intervensi ini dapat disampaikan melalui berbagai strategi layanan responsif. Konselor sekolah dapat menggunakan pendekatan konseling yang terstruktur dan teruji efektif untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan resiliensinya  melalui konseling individual maupun konseling kelompok kecil. Konselor juga dapat berkolaborasi dengan berbagai pakar dan ahli di bidang pengembangan resiliensi individu seperti psikolog, psikiater, pusat pemulihan trauma dan komite perlindungan anak, serta menggunakan jasa pakar dan ahli tersebut untuk alih tangan kasus.

3.     Komponen Perencanaan Individual
Komponen perencanaan individual mencakup sejumlah kegiatan dan prosedur yang membantu siswa dalam memhami dan mengawasi perkembangan mereka secara periodik. Upaya pemberian bantuan pada siswa diberikan ke dalam kolaborasi antara guru, konselor dan orang tua dan disampaikan dalam beberapa strategi antara lain penilaian individual, penempatan, pemberian nasehat dan tindak lanjut (Gysbers, 2006:28).
Upaya peningkatan resiliensi yang diimplikasikan melalui komponen perencanaan individual dapat berupa tindak lanjut dari konseling individual atau konseling kelompok kecil pada komponen layanan responsif. Penilaian individual menggunakan instrumen pengungkap tingkat resiliensi dapat dilakukan untuk memantau sejauh mana perkembangan resiliensi yang dicapai oleh siswa.

4.     Komponen Dukungan Sistem
Pengadministrasian dan pengelolaan program bimbingan konseling komprehensif memerlukan sistem pendukung yang berkelanjutan. Oleh karena itu komponen dukungan sistem memainkan peran penting dalam kesluruhan program bimbingan konseling komprehensif, meskipun sering diabaikan atau hanya sedikit diapresiasi. Komponen dukungan sistem diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan, pengembangan profesional, pengembangan hubungan masyarakat dan staff sekolah, pembentukan dewan penasehat, manajemen  program, jangkauan masyarakat luas, serta pembagian tanggung jawab dan distribusi tugas (Gysbers, 2006:32).
Melalui komponen dukungan sistem upaya peningkatan resiliensi dapat mencakup konteks yang luas. Upaya yang dilakukan tidak hanya menyentuh siswa tapi juga seluruh pihak yang terlibat dalam implementasi program bimbingan dan konseling komprehensif. Sekolah dapat berpartisipasi dalam penelitian dan pengembangan dengan tema peningkatan resiliensi baik di level individu, organisasi, maupun komunitas. Pengembangan profesional dapat dilakukan melalui partisipasi pada acara seminar, lokakarya maupun pelatihan terkait peningkatan resiliensi. Pengembangan hubungan masyarakat dan sekolah juga dapat difasilitasi melalui upaya berasama dalam mendukung penyediaan sumber-sumber psikososial yang mendukung pengembangan resiliensi siswa.
Salah satu manifestasi konkrit dari upaya peningkatan resiliensi siswa dalam bentuk program bimbingan dan konseling komprehensif diwakili oleh program Success Highway. Dalam rangka menciptakan lingkungan positif yang mendukung kesuksesan akademik, sekolah-sekolah di distrik Denver Amerika Serikat, merintis suatu program bernama ScholarCentric’s Success Highway Program (ScholarCentric merupakan organisasi yang memfasilitasi terlaksananya program Success Highway tersebut). Program ini merupakan upaya untuk memberikan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang berbasis penelitian, digunakan untuk mengembangkan performansi akademik siswa. Program ini merupakan kombinasi antara kegiatan penilaian, desain kurikulum dan pengembangan profesional yang terkait dengan pengembangan resiliensi siswa (Gillis & Sidivy, 2008; dalam scholarcentric.com, 2008).
Program Success Highway ini juga diinduksikan pada keseluruhan program bimbingan dan konseling komprehensif yang diimplementasikan di sekolah-sekolah pada distrik Denver. Pada setiap komponen program bimbingan dan konseling komprehensif terdapat kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan resiliensi siswa-siswi sekolah menengah di distrik Denver, kegiatan ini terutama difasilitasi oleh konselor sekolah dan tim dari ScholarCentric serta dibantu oleh upaya kolaboratif dari staf sekolah, orang tua siswa dan masyarakat setempat (scholarcentric.com, 2008).