A. Pendahuluan
Remaja
merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan dapat menggantikan
generasi-generasi sebelumnya dengan kualitas kinerja dan mental yang lebih
baik. Terlebih dalam menghadapi era global saat ini kesiapan remaja sebagai
bagian dari sumber daya manusia yang berpotensi sangatlah diharapkan peranannya
untuk turut serta membangun bangsa Indonesia agar dapat bersaing dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Remaja dalam peranannya sebagai generasi penerus
bangsa diharapkan mempunyai kualitas kinerja dan mental yang baik, sebagai
modal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin bangsa.
Masa remaja
seringkali dihubungkan dengan mitos dan stereotip mengenai penyimpangan dan
ketidakwajaran. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya teori-teori perkembangan
yang membahas ketidakselarasan, gangguan emosi dan gangguan perilaku sebagai
akibat dari tekanan-tekanan yang dialami remaja karena perubahan-perubahan yang
terjadi pada dirinya maupun akibat perubahan lingkungan.
Seorang
remaja memerlukan perhatian yang lebih besar dari orang dewasa di sekitarnya.
Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi dari kehidupan
anak-anak menuju kehidupan orang dewasa. Sudah pasti masa transisi ini diwarnai
oleh berbagai perubahan baik psikis maupun fisik. Mendukung pernyataan
tersebut, Hurlock (2003:193) berpendapat bahwa masa remaja dianggap sebagai
periode badai dan tekanan, suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai
akibat dari perubahan hormonal. Oleh karena itu, remaja merupakan tahap perkembangan
yang sangat rentan terhadap berbagai jenis kendala, dan apabila kendala
tersebut tidak dapat diatasi dengan baik, maka proses perkembangan akan
terganggu atau malah terhambat.
Timbulnya
berbagai kendala dalam proses perkembangan remaja disebabkan oleh berbagai
faktor yang sangat kompleks. Salah
satu faktor penyebab munculnya kendala dalam perkembangan remaja adalah
pengalaman terhadap adversitas. Adversitas dapat berupa musibah, pengalaman
buruk, peristiwa negatif, kejadian tidak menyenangkan, kondisi sarat resiko (high-risk), stressor yang dianggap berat dan
trauma. Pengalaman terhadap adversitas ini dapat memicu konflik dalam diri
remaja yang membuat mereka rentan terhadap berbagai perilaku maladaptif.
Schoon (2006:5) mengemukakan bahwa adversitas dapat membawa pada resiko, remaja
beresiko (at-risk adolesence)
biasanya menjadi remaja yang rentan (vulnerable
adolesence) dan remaja yang rentan memiliki kecenderungan yang tinggi untuk
menjadi remaja bermasalah (troubled
adolesence).
Andrews,
Bonta & Wormith (2004; dalam www.publicsafety.gc.ca)
melakukan survey terhadap 955 orang narapidana usia remaja di penjara
Canada. Hasil survey menunjukkan bahwa 43,6% dari responden pernah mengalami
adversitas pada kategori berat dalam hal intensitas dan juga frekuensi, 15%
mengalami adversitas pada kategori sedang, 5% mengalami adversitas pada
kategori ringan, dan sisanya tidak pernah mengalami. Hasil survey ini
menunjukkan bahwa remaja bermasalah hukum sebagian besar terindikasi pernah
mengalami adversitas yang dianggap terlalu sulit untuk dihadapi.
Beberapa
laporan hasil survey mengungkap bahwa pengalaman terhadap adversitas berkaitan
dengan kerentanan remaja terhadap penggunaan obat terlarang, dan berbagai
bentuk kenakalan remaja lainnya. Situs legalinfo-online.com (2011) mencatat bahwa kurangnya kasih sayang
orang tua, konflik parental berkelanjutan dan minimnya supervisi dari orang tua
memiliki pengaruh sekitar 76% terhadap kecenderungan drug abuse pada remaja.
Di
Indonesia sendiri, harian Kabar Cirebon pada 20 Agustus 2011 (www.kabar-cirebon.com) melansir bahwa sekitar 3362 juta jiwa
penduduk Indonesia teridentifikasi menggunakan narkoba dan 1355 juta atau 40,3%
diantaranya merupakan pelajar. Dari jumlah tersebut terungkap bahwa 90% pelajar
menggunakan narkoba sebagai akibat dari masalah keluarga atau broken home, mereka melampiaskan
kekesalan atas perpecahan keluarga dengan cara menjadi pecandu narkoba.
Masih terkait dengan isu kenakalan remaja,
Kappara (2011; dalam www.pusatremaja.com),
mengemukakan bahwa kenakalan remaja
biasanya dilakukan oleh remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses
perkembangan, baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Secara
psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik masa lalu
yang tidak terselesaikan dengan baik dalam diri para pelakunya. Seringkali
didapati bahwa pelaku kenakalan remaja memiliki trauma dalam masa lalunya,
contohnya seperti perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya,
pengalaman buruk maupun kondisi yang memicu stress seperti kondisi perekonomian
keluarga yang kurang baik.
Selain
berakibat pada kecenderungan terjadinya kenakalan remaja, pengalaman terhadap
adversitas juga dapat mempengaruhi kondisi mental seseorang. Orang yang baru
mengalami adversitas biasanya akan menjadi rapuh dan sangat beresiko terhadap
berbagai masalah kejiwaan yang patologis seperti frustasi, depresi, paranoid,
kesedihan berkepanjangan, histeria, stress berat, schizofrenia, dan akibat
fatal lainnya seperti bunuh diri (Morland, 1999:40).
Menurut Centers for Disease Control
Youth Risk Behaviour Surveilance System (2002), sedikitnya 12% remaja
mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri dan bunuh diri menjadi penyebab
utama ketiga kematian muda-mudi berusia 15-24 tahun di Amerika Serikat. Tiga
juta remaja di dunia berjuang dengan depresi setiap jamnya, namun hanya
sepertiganya yang mendapat pelayanan kesehatan mental dari pihak yang relevan.
Situs www.depression-doctor.com (2009) mencatat bahwa 41% kasus bunuh diri
pada remaja disebabkan oleh ketidakstabilan mental akibat dukacita kehilangan
orang yang dikasihi atau orang yang dikagumi (grief-related suicide), 15% kasus dikarenakan oleh stress karena
tuntutan hidup dan 5% yang dikarenakan alasan yang kurang jelas.
Dari
sejumlah fakta yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa remaja yang
pernah mengalami adversitas cenderung lebih rentan terhadap berbagai
penyimpangan dan masalah perilaku. Kematian orang yang dicintai, kehancuran
keluarga, kehilangan harta benda, penyakit kronis, kemiskinan, bencana alam,
terorisme, perang dan kecelakaan merupakan sebagian kecil contoh dari
adversitas yang mungkin dialami seseorang. Kebanyakan orang bereaksi terhadap
adversitas tersebut dengan emosi yang kuat dan meluap-luap, disertai rasa
gamang dan ketidakpastian. Akan tetapi ada pula orang yang berhasil mengatasi
adversitas tersebut kemudian beradaptasi secara lebih kompeten terhadap
kehidupan yang berlangsung setelahnya.
Ada
individu yang mampu bertahan dan pulih secara efektif namun ada pula individu
yang gagal karena tidak berhasil keluar dari situasi yang tidak menguntungkan.
Kemampuan untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan atau bertahan
ditengah lingkungan dengan tekanan yang berat bukanlah sebuah keberuntungan,
hal tersebut menunjukkan adanya kemampuan tertentu dalam diri individu yang
dikenal dengan istilah resiliensi (Tugade &Frederikson, 2004:4).
Istilah
resiliensi berasal dari kata Latin ‘resilire’
yang artinya melambung kembali. Awalnya istilah ini digunakan dalam konteks
fisik atau ilmu fisika. Resiliensi berarti kemampuan untuk pulih kembali dari
suatu keadaan, kembali ke bentuk semula setelah dibengkokkan, ditekan, atau
diregangkan. Istilah resiliensi juga banyak digunakan dalam bidang mekanika, aviasi
dan komputerisasi. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, resiliency
berarti gaya pegas, daya kenyal, kegembiraan, keuletan (Echols & Shadily,
1997; dalam Desmita, 2009:200), ketahanan (Smet, 1994; dalam Desmita,
2009:200), daya lentur (Siregar, 2001; dalam Desmita, 2009:200), daya lambung
atau daya lenting (Irawati, 2008:2). Bila digunakan sebagai istilah dalam
bidang psikologi, resiliensi merupakan kemampuan manusia untuk cepat pulih dari
perubahan, kesakitan, kemalangan atau kesulitan (The Resiliency Center, 2005; dalam Desmita, 2009:200).
Asumsi
mendasar dalam studi mengenai resiliensi adalah bahwa beberapa individu tetap
baik-baik saja meskipun telah mengalami situasi yang sarat adversitas dan
beresiko, sementara beberapa individu lainnya gagal beradaptasi dan terperosok
dalam adversitas atau resiko yang lebih berat lagi (Schoon, 2006:9).
Liquanti
(1992:2) menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang
dimiliki seseorang dimana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan
perubahan dalam lingkungan. Mereka juga senantiasa terhindar dari penggunaan
obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan akademik, depresi, stres
berkepanjangan, perilaku menyimpang dan gangguan mental.
Beberapa hasil penelitian mendukung bahwa rendahnya tingkat resiliensi
dalam diri individu akan menimbulkan kerentanan terhadap resiko dari
adversitas. Masten (1994;
dalam Davis, 2009:1) melakukan penelitian longitudinal
dan cross sectional. Topik yang
diteliti adalah tingkat resiliensi anak dikaitkan dengan berbagai permasalahan
keluarga disfungsi seperti orangtua dengan gangguan jiwa, kesulitan finansial,
ibu remaja, penyakit kronis, kriminalitas, penelantaran dan penganiayaan.
Setelah 20 tahun masa penelitian diperoleh hasil yang mengindikasikan bahwa
anak yang tumbuh dalam keluarga disfungsi, atau yang mengalami penelantaran dan
penganiayaan cenderung memiliki resiliensi diri yang rendah dan tumbuh menjadi
orang dewasa yang rentan, dikarenakan dalam perkembangannya lebih banyak
peristiwa yang memicu stress dan kurang mampu mengatasi tekanan yang
ditimbulkan oleh peristiwa tersebut.
Morland
(1996; dalam Barnard, 1999:40), mengemukakan bahwa terdapat kecenderungan
faktor-faktor resiliensi yang rendah dalam diri anak atau remaja terutama yang
berasal dari kelompok sosioekonomi rendah dan yang telah mengalami dukacita
kehilangan orangtua.
Irawati
(2008; dalam kompas.com, 2010) melakukan penelitian terhadap resiliensi remaja
dari keluarga brokenhome. Hasil
penelitian mengungkap bahwa hanya 17% dari remaja brokenhome yang mampu
membekali diri dengan kemampuan resiliensi dalam menghadapi berbagai persoalan
yang datang setelah perceraian orangtua, sebanyak 58% cenderung mengalami
masalah kepribadian dan 26% terlibat dalam aksi kenakalan remaja.
Rendahnya
resiliensi anak bangsa bukanlah suatu hal yang layak dibiarkan, remaja perlu
diajari bagaimana mengembangkan resiliensi dalam diri mereka, agar mereka
memiliki bekal kemampuan untuk bangkit dan bertahan dalam situasi yang sarat
perubahan dan tekanan seperti yang sedang terjadi di era globalisasi saat ini.
Individu yang resilien merupakan komponen dasar pembentuk keluarga atau
organisasi yang resilien dan keluarga atau organisasi yang resilien merupakan
prasyarat terciptanya masyarakat atau komunitas yang resilien, dengan
masyarakat atau komunitas yang resilien maka kokohnya ketahanan bangsa bukan
suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan.
Sejumlah fakta empiris mengenai pengalaman
adversitas dan kaitannya dengan kecenderungan terhadap berbagai gangguan
perilaku semakin menambah penekanan pentingnya resiliensi dalam diri remaja.
Hal ini mengisyaratkan
perlunya upaya sistematis yang lebih terkoordinasi dan terprogram dengan
baik dalam rangka meningkatkan resiliensi remaja, khususnya remaja dengan
pengalaman terhadap adversitas dan beresiko tinggi terhadap gangguan perilaku
dan kegagalan akademik di sekolah.
Meskipun mengalami berbagai adversitas yang memiliki dampak signifikan,
siswa dengan tingkat resiliensi tinggi akan mampu mengelola dampak negatif dari adversitas
menjadi kekuatan dan keterampilan untuk bertahan dalam lingkungan sarat tekanan
dan untuk bangkit kembali menuju keberfungsian normal. Oleh karena itu resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang
menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional
dan psikologis siswa. Tanpa adanya
resiliensi, tidak akan ada keberanian, ketekunan, rasionalitas, insight. Bahkan resiliensi
diakui sangat menentukan gaya berpikir dan keberhasilan siswa dalam kehidupan,
termasuk keberhasilan dalam belajar di sekolah (Desmita, 2009:199).
Sebagai lembaga yang mengakomodir peran remaja sebagai siswa atau peserta
didik, sekolah memiliki peran sentral dalam mendukung perkembangan berbagai karakteristik
resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik tersebut.
Berbagai literatur tentang resiko dan resiliensi menyebutkan bahwa sekolah
merupakan lingkungan kritis bagi siswa dalam mengembangkan kapasitas untuk
keluar dari adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan
menghadapi problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial,
akademik dan vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik.
Bimbingan
dan konseling merupakan bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa layanan bimbingan dan konseling di sekolah juga turut
bertanggung jawab dalam mendukung pengembangan karakteristik yang mendukung
peningkatan resiliensi siswa. Berkenaan dengan hal tersebut, konselor sekolah memiliki tanggungjawab etis
untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di
sekolah tersebut sampai level tertinggi melalui layanan bimbingan dan konseling yang bermutu dan
tepat sasaran (ASCA, 2004;
dalam Castro, Johnson, & Smith, 2010).
Namun, untuk dapat
memberikan layanan bermutu dan tepat sasaran seperti yang diharapkan, konselor tidak hanya dituntut
untuk memiliki profesionalisme tapi juga pengetahuan
dan keterampilan yang memadai seputar teori dan pendekatan konseling. Pendekatan konseling yang telah
teruji efektif tentunya akan sangat membantu pemberian layanan bimbingan dan
konseling yang difokuskan untuk menangani berbagai permasalahan siswa, baik
yang sifatnya akademik maupun non-akademik, yakni salah satunya intervensi
konseling yang bertujuan untuk meningkatkan resiliensi siswa.
B. Konsep
Seputar Resiliensi
Resiliensi pada prinsipnya adalah sebuah
konsep yang relatif baru, dalam khasanah psikologi. Paradigma resiliensi
didasari oleh pandangan kontemporer yang muncul dari lapangan psikiatri, psikologi dan sosiologi, tentang bagaimana anak,
remaja dan orang dewasa dapat bangkit kembali dan
bertahan dari kondisi stress, trauma
dan resiko dalam kehidupan mereka. Sejumlah studi yang muncul dalam bidang
resiliensi ini menolak pandangan yang menganggap bahwa stress dan resiko (termasuk penyimpangan, kerugian, kesalahan atau
tekanan-tekanan hidup lainnya) merupakan petaka tidak terelakkan yang dapat menyebabkan
berkembangnya psikopatologi atau penderitaan
abadi dalam lingkaran kemiskinan, penyimpangan, kekerasan atau kegagalan dalam
pendidikan (Desmita,
2006:198).
Riedl (Henderson
& Milstein, 2003:4) mengintrodusir istilah resiliensi psikologis pada tahun 1969, kemudian istilah
resiliensi diadopsi sebagai ganti istilah yang sebelumnya telah digunakan para
peneliti utuk menggambarkan fenomena seperti invulnerable (kekebalan), invicible
(ketangguhan) dan hardy (kekuatan) karena dalam proses menjadi
resilien tercakup pengenalan perasaan sakit, perjuangan dan penderitaan.
Garmezy (1973)
mempublikasikan penemuan penelitian pertama terkait resiliensi. Garmezy
meneliti tentang epidemiologi (ilmu tentang penyakit) yang kemudian mengungkap
faktor protektif dan faktor resiko, kedua faktor tersebut pada saat ini
dianggap sangat membantu dalam mendefinisikan resiliensi. Garmezy dan Streitman
(1974) kemudian menyusun instrumen dan
perangkat yang ditujukan untuk mencari sistem yang dapat mendukung pengembangan
resiliensi (Schoon, 2006:5).
Werner (1982, dalam
Schoon, 2006:5) merupakan salah satu
ilmuwan yang pertama-tama menggunakan istilah resiliensi dalam karya ilmiah.
Penelitian longitudinal selama 30 tahun dilakukan Werner terhadap anak-anak di
pulau Kauai, Hawaii. Kauai adalah pulau yang sangat miskin, banyak orangtua
yang tidak bekerja dan banyak anak yang tumbuh besar dengan orangtua yang
alkoholik dan yang mentalnya terganggu. Werner mencatat bahwa dari seluruh anak
yang tumbuh dan berkembang dalam situasi yang buruk semacam itu, dua pertiga di
antaranya menunjukkan perilaku destruktif di usia remaja seperti penggunaan
obat terlarang, tidak mau bekerja, dan pada remaja perempuan banyak yang hamil
diluar ikatan pernikahan. Sementara itu, satu pertiga di antaranya tidak
menunjukkan adanya perilaku destruktif, kelompok ini disebut Werner sebagai
kelompok yang resilien. Anak yang resilien memiliki karakteristik dan ciri
tertentu yang membedakan mereka dari anak yang non-resilien.
Masten (1989) membawa
resiliensi menjadi topik penelitian dan teori yang sangat populer terutama di
bidang penelitian tentang anak-anak dengan orangtua penderita schizofrenia. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beberapa anak yang memiliki ibu penderita schizofrenia tetap kompeten dalam bidang
akademik, temuan ini membuat para peneliti tertarik utuk memahami respon
terhadap adversitas yang dimiliki oleh anak-anak tersebut dan anak dari
lingkungan kurang menguntungkan lainnya (Schoon, 2006:7).
Pada tahun 1990-an, banyak studi di bidang pengembangan individu
beresiko telah mencoba untuk memahami berbagai permasalahan dalam penyesuaian
dan masalah yang mengikutinya seperti kegagalan akademik, perilaku bermasalah,
kurang motivasi, kesehatan buruk dan gangguan kejiwaan. Akhirnya muncul
perubahan fokus dari paradigma patogenis yang berpusat pada deficit and disease model menjadi fokus
terhadap hasil penyesuaian yang adaptif sebagaimana dikemukakan oleh Antonovsky
(1989) ‘daripada mempertanyakan apa yang dapat mencegah individu agar tidak
jatuh sakit lebih baik mempertanyakan bagaimana individu dapat menjadi lebih
sehat’. Perubahan fokus studi dari yang berorientasi terhadap kegagalan
adaptasional menuju orientasi terhadap hasil yang positif juga berimplikasi
pada lahirnya banyak penelitian mengenai resiliensi di abad ke-21 (Schoon,
2006:9).
C. Peningkatan
Resiliensi Remaja Melalui Aplikasi Model Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Para peneliti memandang resiliensi sebagai
suatu proses yang dinamis dibanding sebagai suatu sifat. Hal ini berarti bahwa
resiliensi merupakan kapasitas individu yang diperoleh melalui proses belajar
dan pengalaman lingkungan. Resiliensi merupakan sikap dan keterampilan yang dapat dipelajari dan
dikembangkan oleh setiap individu, namun untuk dapat mendukung perkembangan
resiliensi dan membantu individu memelihara kemampuan resiliensi dalam diri
mereka, diperlukan lingkungan yang fasilitatif, kondusif dan motivasional.
Lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat terutama sangat berperan penting dalam mendukung perkembangan berbagai
karakteristik resiliensi dan memberikan faktor protektif bagi karakteristik
tersebut (Desmita,
2006:198).
Sekolah merupakan lingkungan yang sangat besar
pengaruhnya bagi perkembangan anak dan remaja. Berbagai literatur tentang resiko dan
resiliensi menyebutkan bahwa sekolah merupakan lingkungan kritis bagi siswa untuk mengembangkan kapasitas untuk keluar dari
adversitas, menyesuaikan diri dengan tekanan-tekanan, dan menghadapi
problem-problem, serta mengembangkan berbagai kompetensi sosial, akademik dan
vokasional yang diperlukan untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (Henderson dan Millstein, 2003; dalam Desmita, 2006:210).
Sehubungan dengan peran sentral sekolah dalam
membantu perkembangan resiliensi siswa Henderson dan Millstein (Desmita, 2006:210) menulis :
‘the
evidence that school as organizations and education in general can be powerful
resiliency builders abounds next to families, school are the most likely place
for student to experience the condition that foster resiliency. Though school
have the power of resiliency building more can be done to ensure that it
happens for all student.’
Dengan demikian jelas bahwa sekolah merupakan
lingkungan kedua setelah keluarga yang sangat memungkinkan membantu siswa
mengembangkan resiliensi. Sebagai sebuah organisasi dan institusi pendidikan
sekolah dapat menjadi kekuatan besar bagi pengembangan resiliensi siswa.
Seperti halnya keluarga dan masyarakat, sekolah juga dapat memberikan
lingkungan dan kondisi yang membantu perkembangan faktor protektif siswa.
Membangun resiliensi siswa membutuhkan kerjasama dari guru, karyawan, pegawai,
kepala sekolah, dan seluruh warga sekolah yang juga resilien.
Salah satu upaya yang
dapat dilakukan oleh sekolah dalam rangka membangun resiliensi siswa adalah
dengan mengimplementasikan suatu upaya yang bersifat sistemik, tidak hanya sekedar
sistematis. Upaya sistemik
dan sistematik tersebut diejawantahkan dalam suatu model bimbingan dan
konseling yang menempatkan
individu sebagai pusat sistem dan menciptakan hubungan antar subsistem yang
mempengaruhi individu ke arah perkembangan positif atau dikenal dengan
model bimbingan dan konseling komprehensif (Erford, 2004).
Model bimbingan dan konseling komprehensif
dirancang menjadi bagian integral dari proses pendidikan di sekolah. Integrasi
antara model bimbingan dan konseling dengan keseluruhan program pendidikan di
sekolah yang bertujuan mengembangkan aspek intelektual dan berbagai
keterampilan hidup diharapkan akan memberi pengaruh terhadap pembentukan kompetensi
peserta didik yang lebih utuh (Gysbers, 2006:18).
Model bimbingan dan konseling komprehensif
merupakan salah satu bentuk inovasi kontemporer dalam bimbingan dan konseling.
Model bimbingan dan konseling komprehensif berbeda secara substansial dengan
model bimbingan dan konseling yang berlangsung selama ini. Perbedaan tersebut
mencakup aspek filosofi, prinsip, sejarah, isi strategi dan komponen (Gysbers, 2006:18).
Konselor sekolah atau
guru bimbingan dan konseling, memegang peran sentral dalam pengimplementasian
model bimbingan dan konseling komprehensif di sekolah. Konselor sekolah memiliki tanggungjawab etis
untuk memfasilitasi perkembangan pribadi, sosial dan akademik seluruh siswa di
sekolah tersebut sampai level tertinggi (ASCA, 2004; dalam Castro, Johnson,
& Smith, 2010). Karena konselor berhadapan dengan populasi siswa yang
sangat besar, sekitar 1:500 (jumlah yang direkomendasikan oleh ASCA adalah
1:250) maka upaya yang paling efektif untuk memberikan layanan pada seluruh
siswa adalah melalui program bimbingan dan konseling komprehensif. Iklim
sekolah, prestasi akademik, tingkat kehadiran, dan gangguan perilaku akan
memperoleh dampak positif apabila program bimbingan dan konseling komprehensif
dapat terlaksana dengan sukses (Brigman & Campbell, 2003; Lapan, Gysbers,
& Petroski, 2001; dalam Castro, Johnson, & Smith, 2010).
Konselor sekolah yang
profesional juga memiliki peran penting dan unik dalam
meningkatkan, memfasilitasi dan mengadvokasikan keberhasilan kerjasama antara
orangtua siswa, sekolah dan masyarakat dalam pelaksanaan program bimbingan dan
konseling komprehensif yang bertujuan untuk mencapai kesuksesan pribadi,
sosial, karir dan akademik bagi seluruh siswa (ASCA, 2010; dalam
schoolcounselor.org, 2010).
Reformasi pendidikan dan reformasi bimbingan
konseling di sekolah mensyaratkan keterlibatan konselor sekolah dalam
meningkatkan kolaborasi antara lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
dalam mendukung kesuksesan siswa (Amatea & West-Olatunji, 2007; Bosworth
& Walz, 2005; Bryan, 2005; Ratts, et al., 2007; dalam schoolcounselor.org,
2010). Keterlibatan keluarga dan
masyarakat dapat menguntungkan siswa dan pihak sekolah, karena dapat membantu
dalam memperbaiki iklim sekolah, memfasilitasi tingkat kehadiran dan
partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar, membantu pengembangan karir
siswa, dan meningkatkan resiliensi siswa (Epstein & Sheldon, 2006; dalam schoolcounselor.org, 2010).
Upaya peningkatan
resiliensi siswa dapat dielaborasikan dalam keempat komponen program bimbingan
dan konseling komprehensif. Berikut adalah penjelasan mengenai komponen program
dan upaya peningkatan resiliensi yang dapat diintegrasikan di dalam tiap-tiap
komponen :
1.
Komponen Kurikulum Bimbingan
Kurikulum bimbingan dalam konteks bimbingan dan konseling komprehensif memiliki asumsi bahwa progam
bimbingan dan konseling berisi hal-hal yang harus dipelajari siswa dalam cara
yang sistematis dan sekuensial. Oleh karena itu konselor harus terlibat dalam
proses belajar mengajar sebagai sumber yang memahami kurikulum bimbingan serta
dapat mengajarkannya pada seluruh staff sekolah. Kurikulum bimbingan biasanya
terdiri atas seperangkat kompetensi siswa berdasarkan bidang layanan atau aspek
perkembangan dan aktifitas terstruktur yang secara sistematis disampaikan
melalui strategi bimbingan klasikal (classroom
activities) dan aktivitas kelompok (Gysbers, 2006:25).
Melalui komponen
kurikulum bimbingan, konselor sekolah dapat melakukan upaya prevensi dengan
cara mendesain kurikulum berbasis peningkatan resiliensi siswa yang disampaikan
melalui kegiatan bimbingan klasikal atau aktivitas kelompok dengan topik
peningkatan resiliensi. Konselor sekolah juga dapat berkolaborasi dengan staf
guru, administrator sekolah, komite sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat
setempat untuk menciptakan suatu lingkungan yang dapat memberikan faktor
protektif yang diperlukan bagi pengembangan resiliensi siswa, misalnya dengan
mengkampanyekan kebebasan berkreasi bagi siswa.
2.
Komponen Layanan Responsif
Layanan responsif merupakan layanan
yang bertujuan membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhan yang dirasa
mendesak dan memecahkan masalah yang dialami siswa, dengan kata lain membantu
siswa yang mengalami hambatan maupun kegagalan dalam proses perkembangan. Tujuan
lain dari layanan responsif adalah mengintervensi masalah-masalah atau
kepedulian pribadi siswa yang muncul segera dan dirasakan pada saat itu. Materi
layanan responsif bergantung pada masalah atau kebutuhan siswa, biasanya
mencakup penanganan stress akademik,
masalah keluarga, penggunaan obat terlarang, alkoholik, rokok, free sex,
dan sebagainya. Strategi yang digunakan
dalam penyampaian layanan responsif adalah konseling individual, konseling
kelompok kecil (small group counseling),
konsultasi dan referal atau alih tangan kasus (Gysbers, 2006:26).
Rendahnya tingkat resiliensi yang menyebabkan
kerentanan siswa terhadap berbagai resiko adversitas berupa permasalahan
akademik maupun non-akademik, memerlukan upaya intervensi yang sifatnya segera dan upaya intervensi ini
dapat disampaikan melalui berbagai strategi layanan responsif. Konselor sekolah
dapat menggunakan pendekatan konseling yang terstruktur dan teruji efektif
untuk membantu siswa meningkatkan kemampuan resiliensinya melalui konseling individual maupun konseling
kelompok kecil. Konselor juga dapat berkolaborasi dengan berbagai pakar dan
ahli di bidang pengembangan resiliensi individu seperti psikolog, psikiater,
pusat pemulihan trauma dan komite perlindungan anak, serta menggunakan jasa
pakar dan ahli tersebut untuk alih tangan kasus.
3.
Komponen Perencanaan Individual
Komponen perencanaan individual mencakup
sejumlah kegiatan dan prosedur yang membantu siswa dalam memhami dan mengawasi
perkembangan mereka secara periodik. Upaya pemberian bantuan pada siswa
diberikan ke dalam kolaborasi antara guru, konselor dan orang tua dan
disampaikan dalam beberapa strategi antara lain penilaian individual, penempatan, pemberian nasehat dan
tindak lanjut (Gysbers,
2006:28).
Upaya peningkatan
resiliensi yang diimplikasikan melalui komponen perencanaan individual dapat
berupa tindak lanjut dari konseling individual atau konseling kelompok kecil
pada komponen layanan responsif. Penilaian individual menggunakan instrumen
pengungkap tingkat resiliensi dapat dilakukan untuk memantau sejauh mana
perkembangan resiliensi yang dicapai oleh siswa.
4.
Komponen Dukungan Sistem
Pengadministrasian dan pengelolaan program
bimbingan konseling komprehensif memerlukan sistem pendukung yang
berkelanjutan. Oleh karena itu komponen dukungan sistem memainkan peran penting
dalam kesluruhan program bimbingan konseling
komprehensif, meskipun sering diabaikan atau hanya sedikit
diapresiasi. Komponen dukungan sistem diimplementasikan melalui
kegiatan-kegiatan penelitian dan pengembangan,
pengembangan profesional, pengembangan hubungan
masyarakat dan staff sekolah, pembentukan dewan penasehat, manajemen program, jangkauan masyarakat luas, serta pembagian tanggung jawab dan distribusi tugas (Gysbers, 2006:32).
Melalui komponen dukungan
sistem upaya peningkatan resiliensi dapat mencakup konteks yang luas. Upaya
yang dilakukan tidak hanya menyentuh siswa tapi juga seluruh pihak yang
terlibat dalam implementasi program bimbingan dan konseling komprehensif.
Sekolah dapat berpartisipasi dalam penelitian dan pengembangan dengan tema
peningkatan resiliensi baik di level individu, organisasi, maupun komunitas.
Pengembangan profesional dapat dilakukan melalui partisipasi pada acara
seminar, lokakarya maupun pelatihan terkait peningkatan resiliensi. Pengembangan
hubungan masyarakat dan sekolah juga dapat difasilitasi melalui upaya berasama
dalam mendukung penyediaan sumber-sumber psikososial yang mendukung
pengembangan resiliensi siswa.
Salah satu manifestasi
konkrit dari upaya peningkatan resiliensi siswa dalam bentuk program bimbingan
dan konseling komprehensif diwakili oleh program Success Highway. Dalam
rangka menciptakan lingkungan positif yang mendukung kesuksesan akademik,
sekolah-sekolah di distrik Denver Amerika Serikat, merintis suatu program
bernama ScholarCentric’s Success Highway
Program (ScholarCentric merupakan
organisasi yang memfasilitasi terlaksananya program Success Highway tersebut). Program ini merupakan upaya untuk
memberikan seperangkat pengetahuan dan keterampilan yang berbasis penelitian,
digunakan untuk mengembangkan performansi akademik siswa. Program ini merupakan
kombinasi antara kegiatan penilaian, desain kurikulum
dan pengembangan profesional yang terkait dengan pengembangan resiliensi siswa
(Gillis & Sidivy, 2008; dalam scholarcentric.com, 2008).
Program Success
Highway ini juga diinduksikan pada keseluruhan program bimbingan dan
konseling komprehensif yang diimplementasikan di sekolah-sekolah pada distrik
Denver. Pada setiap komponen program bimbingan dan konseling komprehensif
terdapat kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan resiliensi siswa-siswi
sekolah menengah di distrik Denver, kegiatan ini terutama difasilitasi oleh
konselor sekolah dan tim dari ScholarCentric
serta dibantu oleh upaya kolaboratif dari staf sekolah, orang tua siswa dan
masyarakat setempat (scholarcentric.com,
2008).