a. Pengertian
Aliansi Terapeutik
Konsep
aliansi terapeutik berasal dari studi terhadap hubungan terapeutik. Aliansi
merepresentasikan elemen kerja tertentu dari hubungan antara konselor dan
konseli (Horvath & Bedi, 2002). Menurut Gelso dan Carter (1985), hubungan
dalam konseling mencakup tiga bagian utama yakni : (1) tranferensi dan
countertransferensi, yang mengacu pada reaksi seseorang pada orang lain dengan
berdasarkan atas hubungan signifikan dengan orang tertentu dan konflik
psikodinamik yang tidak terselesaikan; (2) aliansi; dan (3) hubungan
sebenarnya, yakni ikatan afektif antara konselor dan konseli terlepas dari
hubungan kerja keduanya.
Beberapa
ahli mengemukakan pengertian aliansi terapeutik secara umum, namun beberapa di
antaranya mengemukakan pengertian aliansi terapeutik berdasarkan teori
konseling tertentu.
Daddario
& Kishimoto (2011) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik merupakan hubungan
yang menekankan pada rekanan yang bersifat kolaboratif antara konselor dan
konseli. Rekanan tersebut meliputi tujuan dan preferensi konseli terkait proses
konseling serta metode untuk mencapai tujuan tersebut. Aliansi terapeutik
terutama dibentuk oleh kemampuan ‘mendengarkan’ konseli tanpa berprasangka dan
tanpa memberikan saran yang tidak bertanggungjawab atas masalah konseli.
Rogers
(1957; dalam Green et al, 2012) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik terjadi
ketika konselor memberikan kondisi yang ‘diperlukan’ dan ‘memadai’ bagi
konseli. Kondisi tersebut mencakup ketulusan, empati, dan penerimaan tanpa
syarat yang diarahkan untuk mencapai perubahan kepribadian secara terapeutik.
Novick
dan Novick (1996) merangkum konsep-konsep penting terkait aliansi terapeutik,
antara lain :
1) Transferensi
merupakan motif dari aliansi terapeutik
2) Empati
konselor merupakan kualitas utama dalam pembinaan aliansi terapeutik
3) Aliansi
terapeutik merupakan kolaborasi dengan ego konseli
4) Aliansi
terapeutik merupakan ruang yang memungkinkan realisasi bahwa konselor dan
konseli merupakan dua orang manusia, dengan status yang sederajat, dalam suatu
hubungan personal terhadap satu sama lain
5) Motif
tidak sadar, baik negative maupun positif, berperan dalam pemeliharaan dan
keberfungsian aliansi terapeutik
6) Salah
satu motif yang mendorong terjalinnya aliansi terapeutik adalah pemenuhan
kebutuhan ego
7) Aliansi
terapeutik dapat menjadi tidak stabil dan rawan terhadap resistensi dan konlik
8) Aliansi
terapeutik seperti halnya interaksi awal anak-orangtua, oleh karena itu isu-isu
perkembangan sangat krusial dalam pembinaan dan pemeliharaan aliansi terapeutik
9) Aliansi
terapeutik memang penting, namun bukan satu-satunya hal yang menentukan perubahan terapeutik
10) Aliansi
terapeutik membutuhkan intervensi aktif dari konselor untuk berkonsolidasi
dengan konseli.
Selain itu, Novick dan Novick (1994) juga
mengemukakan delapan prinsip umum terkait aliansi terapeutik, yakni :
1) Konsep
aliansi terapeutik sama seperti lensa yang menyoroti fitur-fitur tertentu dari
suatu materi. Materi tersebut akan tetap sama tiap kali lensa tersebut
digunakan
2) Penting
untuk membedakan kemampuan konselor untuk membina aliansi dengan kemampuan
untuk mendorong kesepakatan atas tujuan konseling
3) Aliansi
terapeutik didorong oleh keyakinan rasional dan irrasional, tujuan positif dan
negative, serta keinginan masa kini dan masa lalu
4) Aliansi
terapeutik tidak selalu stabil, bergantung pada tahapan konseling, kemunculan
konflik, serta komponen lainnya. Fluktuasi dari aliansi terapeutik ini
memungkinkan konselor untuk melihat, membagi, dan menafsirkan konflik,
pertahanan diri, kecemasan, dan transferensi dari konseli. Fluktuasi ini juga
dapat tersaji sebagai indicator adanya konflik, resistensi dan perubahan dalam
proses konseling.
5) Tanggungjawab
untuk memulai aliansi terapeutik berada di tangan konselor
6) Masing-masing
tahapan konseling memiliki tugas-tugas aliansi terapeutik tersendiri
7) Aliansi
terapeutik harus didukung oleh rekanan yang setara antara konselor dan konseli
8) Aliansi
terapeutik merupakan konsep relasional. Oleh karenanya, dibutuhkan keterlibatan
dan masukan dari dua pihak. Aliansi tidak memihak terhadap konselor saja atau
konseli saja melainkan suatu kerja gabungan yang hanya akan terselenggara atas
kolaborasi dan saling interaksi antara keduanya.
b. Komponen
Aliansi Terapeutik
Bordin (1979;
dalam Dryden & Reeves, 2008) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik terbagi
menjadi tiga komponen yakni Bond atau
ikatan, Goal atau tujuan dan Task atau tugas, berikut penjelasannya.
1)
Bond
Ketika ikatan antara konselor dan
konseli menjadi focus pertimbangan utama, beberapa konsepsi dalam konseling
menjadi mutlak. Konsepsi pertama berkaitan dengan sikap interpersonal konselor
dan dampaknya terhadap konseli. Mearns & Thorne (2007) mengemukakan bahwa
ketika konselor (1) menampilkan pemahaman empatik terhadap persoalan konseli,
(2) menampilkan ketulusan dalam pertemuan konseling, dan (3) menunjukkan
penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai individu, kemudian konseli
merasakan sikap konselor tersebut, maka konseli akan cenderung bergerak kea rah
pertumbuhan psikologis yang lebih baik. Konsepsi kedua terkait dengan area
sikap dan perasaan konseli terhadap konselor. Kepercayaan konseli terhadap
konselor, rasa aman yang diperoleh dalam hubungan dengan konselor, dan tingkat
kesetiaan terhadap konselor menjadi hal penting yang perlu dikembangkan dan
dipelihara selama proses konseling. Konsepsi ketiga terkait dengan area gaya
interpersonal konseli dan konselor. Area ini
lebih interaktif dibandingkan kedua area sebelumnya karena menuntut
adanya penyesuaian gaya interpersonal antara konselor dan konseli.
Ketidaksesuaian dalam hal gaya interpersonal akan membawa konseling pada arah
yang kurang efektif. Tugas konselor adalah untuk memodifikasi gaya
interpersonal pribadinya dengan gaya interpersonal konseli, setelah aliansi
terapeutik terbina dan mulai menguat, maka konselor dapat secara perlahan-lahan
kembali pada gaya interpersonal pribadinya yang asli. Konsepsi yang terakhir
terkait dengan transferensi dan konter-transferensi dalam proses konseling.
2)
Goal
Tujuan merupakan hal yang ingin
dicapai oleh konselor dan konseli dalam proses konseling dan dipermudah
pencapaiannya melalui aliansi terapeutik yang positif dan efektif. Pada awal
proses konseling tujuan aliansi terapeutik mungkin terlihat mudah, sebatas
konseli yang bermasalah, ingin terbebas dari masalah tersebut dan menjalani
hidup yang lebih bermakna. Tugas konselor adalah membantu konseli tersebut
mencapai tujuannya. Namun situasi sebenarnya tidaklah sesederhana itu.
Karenanya tujuan menjadi pertimbangan utama dalam pembinaan aliansi terapeutik.
Bordin (1979; dalam Dryden & Reeves, 2008) mengemukakan bahwa hasil
terapeutik yang baik difasilitasi oleh kesepakatan konselor dan konseli terkait
tujuan yang ingin dicapai konseli serta kesepakatan untuk bekerjasama mencapai
tujuan tersebut. Bordin terutama memperhatikan tujuan-tujuan yang berkaitan
dengan hasil akhir konseling. Hal tersebut menegaskan adanya sumber-sumber potensial
dari kegagalan atau hambatan dari proses konseling. Aliansi terapeutik terutama
terhambat ketika konselor dan konseli memiliki tujuan yang berbeda dalam
pikiran masing-masing. Oleh karena itu sebaiknya tujuan aliansi terapeutik
dikemukakan secara jujur dan apabila terdapat perbedaan maka diselesaikan
melalui diskusi dan konsolidasi.
3) Task
Tugas merupakan aktivitas-aktivitas
yang dilakukan oleh konselor dan konseli yang mengarah pada upaya pencapaian
tujuan. Beberapa tugas bisa saja sangat umum dan luas, misalnya terlibat dalam
upaya eksplorasi diri dalam konseling terpusat pada pribadi, beberapa lainnya
mungkin sangat spesifik, misalnya terlibat dalam dialog empat mata pada
konseling Gestalt. Tugas-tugas konselor biasanya terkait dengan teknik konseling
yang digunakan dalam proses konseling. Konseli perlu mengetahui teknik yang
akan dilakukan dan apa manfaat yang diperolehnya dari teknik tersebut. Dengan
demikian, akan mempermudah tugas konselor dalam melakukan tugas. Dari
perspektif aliansi terapeutik, tingkat kemajuan konseli dipengaruhi oleh
tingkat keterampilan konselor dalam melakukan tugas-tugasnya. Hal tersebut
mengimplikasikan bahwa factor keterampilan memerlukan perhatian lebih dalam
pelatihan dan supervise konseling. Pendidik konselor dan supervisor memerlukan
bukti yang konkrit dan detail terkait seberapa terampil konselor melaksanakan
tugasnya bukan sekedar mendengarkan pemaparan konselor tentang apa-apa yang
telah dilakukannya dalam proses konseling.
c. Karakteristik
Konselor yang diasosiasikan dengan Keterampilan Membina Aliansi Terapeutik
Terdapat
beberapa karakteristik pribadi konselor yang dapat mendukung maupun menghambat
pembinaan aliansi terapeutik dalam proses konseling. Berikut adalah pemaparannya.
1) Karakteristik
konselor yang mendukung terciptanya aliansi terapeutik yang positif
a) Fleksibel
dan menerima konseli untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang dianggap
penting
b) Menghormati
dan menghargai konseli
c) Hangat,
ramah dan afirmatif
d) Terbuka
(dalam hal ini tidak terkesan misterius atau menyembunyikan hal-hal tertentu
dari konseli)
e) Peka
dan aktif
f) Mampu
menunjukkan kejujuran melalui refleksi diri
g) Dapat
dipercaya dan menjaga kepercayaan konseli
2) Karakteristik
konselor yang menghambat terciptanya aliansi terapeutik yang positif
a) Kaku
dan dingin
b) Terlalu
kritis
c) Menampilkan
keterbukaan diri yang kurang pantas
d) Menjaga
jarak dari konseli
e) Angkuh
f) Terlihat
kacau dan tidak focus
g) Membuat
jeda diam yang tidak menyamankan dalam percakapan dengan konseli
Referensi :
Ackerman, S. J., & Hilsenroth, M. J.
(2001). A review of therapist characteristics and techniques negatively
impacting the therapeutic alliance. Psychotherapy: Theory, Research, Practice,
Training, 38, 171–185.
Ackerman, S. J., & Hilsenroth, M. J.
(2003). A review of therapist characteristics and techniques positively
impacting the therapeutic alliance. Clinical Psychology Review, 23, 1–33.
Bedi, R.P., Davis, M. D., Arvay, M.J.
(2005). The Client’s Perspective on Forming a Counselling Alliance and
Implications for Research on Counsellor Training. Canadian Journal of
Counselling Vol.39 : 2.
Blocher, Donald.
H. (1987). The Professional Counselor.
New York : Macmillan Publishing Company.
Brammer,
Lawrence. M. (1979). The Helping
Relationship : Process and Skills (Second Edition). New Jersey, USA :
Prentice-Hall.
Brown, Steven. D
& Lent, Robert. W. (1984). Handbook
of Counseling Psychology. Canada : John Wiley and Sons Inc.
Carkhuff,
Robert. R & Anthony, William. A. (1979). The Skills of Helping. Massachusetts, USA : Human Resource
Development Inc.
Carkhuff,
Robert. R & Pierce, Richard. M. (1977). The
Art of Helping : Trainer’s Guide. Massachusetts, USA : Human Resource
Development Inc.
Carkhuff,
Robert. R. (1983). The Art of Helping :
Fifth Edition. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Cavanagh,
Michael. E. (1982). The Counseling Experience
: A Theoritical and Practical Approach. Belmont, California : Wadsworth
Inc.
Daddario, A & Kishimoto, E.
(2011). Therapeutic Alliance Activity Quiz : Modul. COSIG Mobile Team :
Australia.
DeGeorge, J oan. (2008). Empathy and the Therapeutic Alliance: Their Relationship to Each Other
and to Outcome in Cognitive-Behavioral Therapy for Generalized Anxiety Disorder.
Masters Theses : Paper 179.
Hackney, Harold.
L & Cormier, Sherry. (2009). The Professional Counselor : A Process guide
to helping (sixth edition). New Jersey : Pearson Education Inc.
Novick,
K. (1996). An Application of The Concept
of The Therapeutic Alliance to Sadomasochistic Pathology. University of
Michigan : Amerika.
Okun, Barbara.
F. (1987). Effective Helping Interviewing
and Counseling Techniques : Third Edition. Monterey, California :
Brooks/Cole Publishing Company.
Safran J.D. and Muran
J.C. (2000) Negotiating the therapeutic alliance New York: Guilford Press.
Surya,
Mohamad. (2003). Psikologi Konseling :
Edisi Pertama. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Willis, Sofyan.
S. (2004). Konseling Individual : Teori
dan Praktek. Bandung : Alfabeta.