Selasa, 27 Mei 2014

Aliansi Terapeutik


a.       Pengertian Aliansi Terapeutik
Konsep aliansi terapeutik berasal dari studi terhadap hubungan terapeutik. Aliansi merepresentasikan elemen kerja tertentu dari hubungan antara konselor dan konseli (Horvath & Bedi, 2002). Menurut Gelso dan Carter (1985), hubungan dalam konseling mencakup tiga bagian utama yakni : (1) tranferensi dan countertransferensi, yang mengacu pada reaksi seseorang pada orang lain dengan berdasarkan atas hubungan signifikan dengan orang tertentu dan konflik psikodinamik yang tidak terselesaikan; (2) aliansi; dan (3) hubungan sebenarnya, yakni ikatan afektif antara konselor dan konseli terlepas dari hubungan kerja keduanya.
Beberapa ahli mengemukakan pengertian aliansi terapeutik secara umum, namun beberapa di antaranya mengemukakan pengertian aliansi terapeutik berdasarkan teori konseling tertentu.
Daddario & Kishimoto (2011) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik merupakan hubungan yang menekankan pada rekanan yang bersifat kolaboratif antara konselor dan konseli. Rekanan tersebut meliputi tujuan dan preferensi konseli terkait proses konseling serta metode untuk mencapai tujuan tersebut. Aliansi terapeutik terutama dibentuk oleh kemampuan ‘mendengarkan’ konseli tanpa berprasangka dan tanpa memberikan saran yang tidak bertanggungjawab atas masalah konseli.
Rogers (1957; dalam Green et al, 2012) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik terjadi ketika konselor memberikan kondisi yang ‘diperlukan’ dan ‘memadai’ bagi konseli. Kondisi tersebut mencakup ketulusan, empati, dan penerimaan tanpa syarat yang diarahkan untuk mencapai perubahan kepribadian secara terapeutik.
Novick dan Novick (1996) merangkum konsep-konsep penting terkait aliansi terapeutik, antara lain :
1)      Transferensi merupakan motif dari aliansi terapeutik
2)      Empati konselor merupakan kualitas utama dalam pembinaan aliansi terapeutik
3)      Aliansi terapeutik merupakan kolaborasi dengan ego konseli
4)      Aliansi terapeutik merupakan ruang yang memungkinkan realisasi bahwa konselor dan konseli merupakan dua orang manusia, dengan status yang sederajat, dalam suatu hubungan personal terhadap satu sama lain
5)      Motif tidak sadar, baik negative maupun positif, berperan dalam pemeliharaan dan keberfungsian aliansi terapeutik
6)      Salah satu motif yang mendorong terjalinnya aliansi terapeutik adalah pemenuhan kebutuhan ego
7)      Aliansi terapeutik dapat menjadi tidak stabil dan rawan terhadap resistensi dan konlik
8)      Aliansi terapeutik seperti halnya interaksi awal anak-orangtua, oleh karena itu isu-isu perkembangan sangat krusial dalam pembinaan dan pemeliharaan aliansi terapeutik
9)      Aliansi terapeutik memang penting, namun bukan satu-satunya hal yang menentukan  perubahan terapeutik
10)  Aliansi terapeutik membutuhkan intervensi aktif dari konselor untuk berkonsolidasi dengan konseli.

Selain itu, Novick dan Novick (1994) juga mengemukakan delapan prinsip umum terkait aliansi terapeutik, yakni :
1)      Konsep aliansi terapeutik sama seperti lensa yang menyoroti fitur-fitur tertentu dari suatu materi. Materi tersebut akan tetap sama tiap kali lensa tersebut digunakan
2)      Penting untuk membedakan kemampuan konselor untuk membina aliansi dengan kemampuan untuk mendorong kesepakatan atas tujuan konseling
3)      Aliansi terapeutik didorong oleh keyakinan rasional dan irrasional, tujuan positif dan negative, serta keinginan masa kini dan masa lalu
4)      Aliansi terapeutik tidak selalu stabil, bergantung pada tahapan konseling, kemunculan konflik, serta komponen lainnya. Fluktuasi dari aliansi terapeutik ini memungkinkan konselor untuk melihat, membagi, dan menafsirkan konflik, pertahanan diri, kecemasan, dan transferensi dari konseli. Fluktuasi ini juga dapat tersaji sebagai indicator adanya konflik, resistensi dan perubahan dalam proses konseling.
5)      Tanggungjawab untuk memulai aliansi terapeutik berada di tangan konselor
6)      Masing-masing tahapan konseling memiliki tugas-tugas aliansi terapeutik tersendiri
7)      Aliansi terapeutik harus didukung oleh rekanan yang setara antara konselor dan konseli
8)      Aliansi terapeutik merupakan konsep relasional. Oleh karenanya, dibutuhkan keterlibatan dan masukan dari dua pihak. Aliansi tidak memihak terhadap konselor saja atau konseli saja melainkan suatu kerja gabungan yang hanya akan terselenggara atas kolaborasi dan saling interaksi antara keduanya.

b.      Komponen Aliansi Terapeutik
Bordin (1979; dalam Dryden & Reeves, 2008) mengemukakan bahwa aliansi terapeutik terbagi menjadi tiga komponen yakni Bond atau ikatan, Goal atau tujuan dan Task atau tugas, berikut penjelasannya.
1)      Bond
Ketika ikatan antara konselor dan konseli menjadi focus pertimbangan utama, beberapa konsepsi dalam konseling menjadi mutlak. Konsepsi pertama berkaitan dengan sikap interpersonal konselor dan dampaknya terhadap konseli. Mearns & Thorne (2007) mengemukakan bahwa ketika konselor (1) menampilkan pemahaman empatik terhadap persoalan konseli, (2) menampilkan ketulusan dalam pertemuan konseling, dan (3) menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai individu, kemudian konseli merasakan sikap konselor tersebut, maka konseli akan cenderung bergerak kea rah pertumbuhan psikologis yang lebih baik. Konsepsi kedua terkait dengan area sikap dan perasaan konseli terhadap konselor. Kepercayaan konseli terhadap konselor, rasa aman yang diperoleh dalam hubungan dengan konselor, dan tingkat kesetiaan terhadap konselor menjadi hal penting yang perlu dikembangkan dan dipelihara selama proses konseling. Konsepsi ketiga terkait dengan area gaya interpersonal konseli dan konselor. Area ini  lebih interaktif dibandingkan kedua area sebelumnya karena menuntut adanya penyesuaian gaya interpersonal antara konselor dan konseli. Ketidaksesuaian dalam hal gaya interpersonal akan membawa konseling pada arah yang kurang efektif. Tugas konselor adalah untuk memodifikasi gaya interpersonal pribadinya dengan gaya interpersonal konseli, setelah aliansi terapeutik terbina dan mulai menguat, maka konselor dapat secara perlahan-lahan kembali pada gaya interpersonal pribadinya yang asli. Konsepsi yang terakhir terkait dengan transferensi dan konter-transferensi dalam proses konseling.

2)      Goal
Tujuan merupakan hal yang ingin dicapai oleh konselor dan konseli dalam proses konseling dan dipermudah pencapaiannya melalui aliansi terapeutik yang positif dan efektif. Pada awal proses konseling tujuan aliansi terapeutik mungkin terlihat mudah, sebatas konseli yang bermasalah, ingin terbebas dari masalah tersebut dan menjalani hidup yang lebih bermakna. Tugas konselor adalah membantu konseli tersebut mencapai tujuannya. Namun situasi sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Karenanya tujuan menjadi pertimbangan utama dalam pembinaan aliansi terapeutik. Bordin (1979; dalam Dryden & Reeves, 2008) mengemukakan bahwa hasil terapeutik yang baik difasilitasi oleh kesepakatan konselor dan konseli terkait tujuan yang ingin dicapai konseli serta kesepakatan untuk bekerjasama mencapai tujuan tersebut. Bordin terutama memperhatikan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan hasil akhir konseling. Hal tersebut menegaskan adanya sumber-sumber potensial dari kegagalan atau hambatan dari proses konseling. Aliansi terapeutik terutama terhambat ketika konselor dan konseli memiliki tujuan yang berbeda dalam pikiran masing-masing. Oleh karena itu sebaiknya tujuan aliansi terapeutik dikemukakan secara jujur dan apabila terdapat perbedaan maka diselesaikan melalui diskusi dan konsolidasi.

3)      Task
Tugas merupakan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh konselor dan konseli yang mengarah pada upaya pencapaian tujuan. Beberapa tugas bisa saja sangat umum dan luas, misalnya terlibat dalam upaya eksplorasi diri dalam konseling terpusat pada pribadi, beberapa lainnya mungkin sangat spesifik, misalnya terlibat dalam dialog empat mata pada konseling Gestalt. Tugas-tugas konselor biasanya terkait dengan teknik konseling yang digunakan dalam proses konseling. Konseli perlu mengetahui teknik yang akan dilakukan dan apa manfaat yang diperolehnya dari teknik tersebut. Dengan demikian, akan mempermudah tugas konselor dalam melakukan tugas. Dari perspektif aliansi terapeutik, tingkat kemajuan konseli dipengaruhi oleh tingkat keterampilan konselor dalam melakukan tugas-tugasnya. Hal tersebut mengimplikasikan bahwa factor keterampilan memerlukan perhatian lebih dalam pelatihan dan supervise konseling. Pendidik konselor dan supervisor memerlukan bukti yang konkrit dan detail terkait seberapa terampil konselor melaksanakan tugasnya bukan sekedar mendengarkan pemaparan konselor tentang apa-apa yang telah dilakukannya dalam proses konseling.

c.       Karakteristik Konselor yang diasosiasikan dengan Keterampilan Membina Aliansi Terapeutik
Terdapat beberapa karakteristik pribadi konselor yang dapat mendukung maupun menghambat pembinaan aliansi terapeutik dalam proses konseling. Berikut adalah pemaparannya.
1)      Karakteristik konselor yang mendukung terciptanya aliansi terapeutik yang positif
a)      Fleksibel dan menerima konseli untuk mendiskusikan berbagai persoalan yang dianggap penting
b)      Menghormati dan menghargai konseli
c)      Hangat, ramah dan afirmatif
d)     Terbuka (dalam hal ini tidak terkesan misterius atau menyembunyikan hal-hal tertentu dari konseli)
e)      Peka dan aktif
f)       Mampu menunjukkan kejujuran melalui refleksi diri
g)      Dapat dipercaya dan menjaga kepercayaan konseli

2)      Karakteristik konselor yang menghambat terciptanya aliansi terapeutik yang positif
a)      Kaku dan dingin
b)      Terlalu kritis
c)      Menampilkan keterbukaan diri yang kurang pantas
d)     Menjaga jarak dari konseli
e)      Angkuh
f)       Terlihat kacau dan tidak focus

g)      Membuat jeda diam yang tidak menyamankan dalam percakapan dengan konseli


Referensi : 

Ackerman, S. J., & Hilsenroth, M. J. (2001). A review of therapist characteristics and techniques negatively impacting the therapeutic alliance. Psychotherapy: Theory, Research, Practice, Training, 38, 171–185.
Ackerman, S. J., & Hilsenroth, M. J. (2003). A review of therapist characteristics and techniques positively impacting the therapeutic alliance. Clinical Psychology Review, 23, 1–33.
Bedi, R.P., Davis, M. D., Arvay, M.J. (2005). The Client’s Perspective on Forming a Counselling Alliance and Implications for Research on Counsellor Training. Canadian Journal of Counselling Vol.39 : 2.
Blocher, Donald. H. (1987).  The Professional Counselor.  New York : Macmillan Publishing Company.
Brammer, Lawrence. M. (1979). The Helping Relationship : Process and Skills (Second Edition). New Jersey, USA : Prentice-Hall.
Brown, Steven. D & Lent, Robert. W. (1984). Handbook of Counseling Psychology. Canada : John Wiley and Sons Inc.
Carkhuff, Robert. R & Anthony, William. A. (1979). The Skills of Helping. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Carkhuff, Robert. R & Pierce, Richard. M. (1977). The Art of Helping : Trainer’s Guide. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Carkhuff, Robert. R. (1983). The Art of Helping : Fifth Edition. Massachusetts, USA : Human Resource Development Inc.
Cavanagh, Michael. E. (1982). The Counseling Experience : A Theoritical and Practical Approach. Belmont, California : Wadsworth Inc.
Daddario, A & Kishimoto, E. (2011).  Therapeutic Alliance Activity Quiz : Modul. COSIG Mobile Team : Australia.
DeGeorge, J oan. (2008). Empathy and the Therapeutic Alliance: Their Relationship to Each Other and to Outcome in Cognitive-Behavioral Therapy for Generalized Anxiety Disorder. Masters Theses : Paper 179.
Hackney, Harold. L & Cormier, Sherry. (2009).  The Professional Counselor : A Process guide to helping (sixth edition). New Jersey : Pearson Education Inc.
Novick, K. (1996). An Application of The Concept of The Therapeutic Alliance to Sadomasochistic Pathology. University of Michigan : Amerika.
Okun, Barbara. F. (1987). Effective Helping Interviewing and Counseling Techniques : Third Edition. Monterey, California : Brooks/Cole Publishing Company.
Safran J.D. and Muran J.C. (2000) Negotiating the therapeutic alliance New York: Guilford  Press.
Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling : Edisi Pertama. Bandung : Pustaka Bani Quraisy.
Willis, Sofyan. S. (2004). Konseling Individual : Teori dan Praktek. Bandung : Alfabeta.