Konsep Seputar Bullying
Oleh : Esya
Anesty
1.
Penelitian Awal Seputar Bullying
Sejarah bullying dimulai bahkan sejak ratus ribu tahun yang lalu saat
manusia Neanderthal digantikan oleh Homo Sapiens yang lebih kuat dan lebih
berkembang. Tema utama yang terekam dari sejarah-sejarah mengenai perilaku bullying adalah eksploitasi yang lemah
oleh yang kuat, bukan secara tidak sengaja namun secara purposif atau
bertujuan.
Sekalipun bullying telah
menjadi sebuah masalah selama berabad-abad, bullying
tidak menerima perhatian penelitian signifikan sampai tahun 1970-an (Olweus,
1978). Profesor Dan Olweus
adalah ilmuwan pertama yang memfokuskan diri pada topik tersebut dan
mengkontribusikan data ilmiahnya pada literatur bullying. Banyak
penelitian Olweus menjelaskan mengapa beberapa anak melakukan bullying dan mengapa beberapa lainnya
menjadi korban bullying. Bukan itu
saja, Olweus juga menunjukkan bahwa bullying
di sekolah dapat direduksi secara signifikan. Hal ini merupakan pencapaian yang
sangat penting.
Hasil studi dari Olweus
mengesankan banyak peneliti sosial di dunia. Sebelum abad ke -20 berakhir,
ratusan studi serupa telah dilakukan di banyak negara. Buku, artikel, website, video dan CD mulai bermunculan
dengan maksud untuk menjelaskan apa saja yang perlu kita lakukan untuk
mereduksi bahkan menghentikan bullying
di sekolah.
Sebagaimana yang diindikasikan oleh Olweus (1978), penelitian berkenaan dengan
bullying dimulai di negara-negara Eropa. Perhatian penelitian
di Norwegia dan Swedia pada tahun 1980-an mengarah pada kampanye intervensi
nasional pertama menentang bullying.
Kesuksesan penelitian ini memotivasi negara-negara lain seperti Finlandia,
Inggris, dan Irlandia untuk meneliti bullying
(Ross, 2002; Smith&Brain, 2000). Sejak akhir tahun 1980-an, Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) telah melaksanakan penelitian-penelitian lintas bangsa
setiap empat tahun berkenaan dengan perilaku sehat pada anak-anak usia sekolah.
Sampel usia 11, 13, dan 15 tahun dari berbagai dunia dinilai, dan bullying dimasukan sebagai suatu aspek penting dari penelitian
tersebut.
Di Asia, Jepang merupakan negara
yang telah melakukan upaya-upaya untuk memahami bullying dan mengembangkan cara-cara untuk mencegah bullying. Kata Bahasa Jepang ijime diterjemahkan sebagai “bullying” dalam Bahasa Inggris. Menurut
Kawabata (2001), ijime merujuk pada bullying yang menyebabkan hasil-hasil
dalam trauma dan dalam beberapa kasus fobia sekolah. Selain itu, Tanaka (2001)
menggambarkan shunning sebagai suatu
tipe bullying yang khas ditemukan di
Jepang. Shunning adalah satu tipe bullying dimana sekolompok teman sebaya
secara kolektif mengabaikan dan mengeluarkan seorang korban (dari kelompoknya).
Di Amerika, bullying
jelas-jelas merupakan sebuah isu serius. Menurut Ross (2002), bullying itu dianggap bentuk agresi yang
paling dominan ditemukan di sekolah-sekolah Amerika dan berpengaruh kuat pada
sebagian besar para siswa bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan
lain.
2.
Definisi Bullying
Istilah Bullying
belum banyak dikenal masyarakat,
terlebih karena belum ada padanan kata
yang tepat dalam bahasa Indonesia (Susanti, 2006). Bullying berasal dari kata bully,
menurut kamus Inggris-Indonesia karangan Echols dan Shadily bully diartikan sebagai :
“bully /’bulie/ kb. (j.
–lies) penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah. –ks. Inf.: baik,
bagus, kelas satu, nomor wahid. –kkt. (bullied) menggertak, mengganggu.”
Beberapa istilah dalam bahasa
Indonesia yang seringkali dipakai masyarakat
untuk menggambarkan fenomena Bullying di antaranya adalah
penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi
(Susanti, 2006).
Suatu hal yang alamiah bila
memandang bullying sebagai suatu
kejahatan, dikarenakan oleh unsur-unsur yang ada di dalam bullying itu sendiri. Ken Rigby (2003:51) menguraikan unsur-unsur
yang terkandung dalam pengertian bullying
yakni antara lain keinginan untuk menyakiti, tindakan negatif,
ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar penggunaan
kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan di pihak
korban.
Pengertian
tersebut didukung oleh Coloroso (2006: 44-45) yang mengemukakan bahwa bullying
akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut : (a) Ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power). Bullying bukan
persaingan antara saudara kandung, bukan pula perkelahian yang melibatkan dua
pihak yang setara. Pelaku bullying
bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih mahir secara
verbal, lebih tinggi secara status sosial, atau berasal dari ras yang berbeda,
(b) keinginan untuk mencederai (desire to hurt). Dalam bullying
tidak ada kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada ketidaksengajaan dalam
pengucilan korban. Bullying berarti menyebabkan kepedihan emosional atau
luka fisik, melibatkan tindakan yang dapat melukai, dan menimbulkan rasa senang
di hati sang pelaku saat menyaksikan penderitaan korbannya, (c) ancaman agresi
lebih lanjut. Bullying tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya
terjadi sekali saja, tapi juga repetitif atau cenderung diulangi, (d) teror.
Unsur keempat ini muncul ketika ekskalasi bullying semakin meningkat. Bullying
adalah kekerasan sistematik yang digunakan untuk mengintimidasi dan memelihara
dominasi. Teror bukan hanya sebuah cara untuk mencapai bullying tapi
juga sebagai tujuan bullying.
Unsur-unsur dari pengertian
bullying ini diungkapkan juga oleh
para ahli yang melakukan berbagai kajian empiris dan teoritis terhadap fenomena bullying.
Menurut Olweus (1993:5) "Bullying can consist of any action that is used to hurt another child
repeatedly and without cause". Tindakan yang dilakukan dapat berupa
fisik, verbal ataupun kejadian siksaan mental ataupun emosi seseorang. Sesuatu
yang sering terlihat oleh mata kita seperti permainan ataupun
pelecehan-pelecehan dapat saja digolongkan sebagai kegiatan ritual dari bullying. Hal ini merupakan suatu cara
anak-anak muda berinteraksi dengan lingkungannya.
Tatum dan tatum (1992 dalam Rigby, 2002:27) menulis : ‘bullying is a willful conscious desire to
hurt another and put him/her under stress’. Pernyataan tersebut hanya
berbeda tipis dengan apa yang dinyatakan oleh Scottish Council for Research in
Education yakni bahwa ‘bullying is a
willful, conscious desire to hurt or threaten or frighten someone else’
(Johnson, Munn & Edwards, 1991; dalam Rigby 2002:28).
Beberapa ahli meragukan pengertian-pengertian diatas bahwa bullying hanya sekedar keinginan untuk
menyakiti orang lain, mereka memandang bahwa ‘keinginan untuk menyakiti
seseorang’ dan ‘benar-benar menyakiti seseorang’ merupakan dua hal yang jelas
berbeda. Oleh karena itu para psikolog behavioral menambahkan bahwa bullying merupakan sesuatu yang
dilakukan bukan sekedar dipikirkan oleh pelakunya, keinginan untuk menyakiti
orang lain dalam bullying selalu
diikuti oleh tindakan negatif.
Seperti dinyatakan oleh Olweus (1993) dalam formulasi awal
mengenai definisi bullying bahwa bullying merupakan “…negative actions on the part of one or more
other students’. Olweus (1993) juga menambahkan bahwa bullying terbukti saat sulit bagi siswa yang menjadi korban bullying untuk mempertahankan diri. Hal
tersebut didukung oleh pernyataan Craig dan Pepler (1998), yang mengartikan bullying sebagai "tindakan negatif
secara fisik atau lisan yang menunjukkan sikap permusuhan, sehingga menimbulkan
distress bagi korbannya, berulang dalam kurun waktu tertentu dan melibatkan
perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya.”
Olweus (1999) memaparkan contoh tindakan negatif yang termasuk dalam bullying antara lain; (1) mengatakan hal yang tidak menyenangkan
atau memanggil seseorang dengan julukan yang buruk; (2) mengabaikan atau
mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena suatu tujuan; (3) memukul,
menendang, menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik; (4) mengatakan
kebohongan atau rumor yang keliru mengenai seseorang atau membuat siswa lain
tidak menyukai seseorang dan hal-hal semacamnya.
Unsur ketidakseimbangan
kekuatan dari bullying juga
diperdebatkan sebagai sesuatu yang terikat secara situasional (Rigby, 2002:34).
Karena ketidakseimbangan kekuatan sewaktu-waktu bisa saja berubah saat korban
memperoleh keterampilan untuk mempertahankan diri dan pelaku kehilangan para
pendukungnya. Olweus (1993) memberikan klarifikasi untuk unsur ini, yakni
dengan menuliskan bahwa ‘It’is not bullying
when two student of about the same strange or power argue or fight.’
Pengertian tersebut sangat membantu dalam menetapkan konteks dari
ketidakseimbangan kekuatan yang terdapat dalam bullying. Ketidakseimbangan kekuatan yang nyata terlihat saat
beberapa bentuk bullying terjadi,
seperti pengucilan, penyebaran rumor, dan sarkasme yang menyakitkan dari
sekelompok orang terhadap satu orang. Oleh karena itu, ketidakseimbangan
kekuatan dalam bullying merupakan hal
yang nyata apabila ketidakseimbangan itu sendiri terikat oleh suatu konteks dan
mengalir atau berkelanjutan selama periode waktu yang lama.
Meskipun unsur-unsur yang
membedakan bullying dari beragam
bentuk kekerasan lainnya sudah cukup jelas, namun masih muncul banyak
pertanyaan tentang bagaimana membedakan bullying
dari agresi atau perilaku agresif. Untuk membedakan antara bullying dan perilaku agresi terkadang nampak seperti membelah
sehelai rambut, sangat sulit. Berkowitz (1986; dalam Rigby 2002:30) mengartikan
agresi sebagai perilaku menyakiti yang bertujuan terhadap orang lain.
Agresi merupakan situasi
dimana seseorang memperoleh sesuatu dengan menggunakan kekuatan namun
dominansinya terhadap target atau korban merupakan hal yang insidental dan tidak disengaja,
sementara bullying merupakan situasi
akhir yang diinginkan dan dicapai melalui penggunaan kekuatan secara bertujuan
untuk menyakiti orang lain dan untuk menunjukkan dominansi seseorang terhadap
orang lain. hasil akhir dari bullying
lebih dapat diprediksi dibanding hasil akhir dari agresi (Rigby, 2002:31).
Untuk membedakan bullying dari agresi juga dapat dilihat
dari seberapa sering agresi tersebut terjadi. Karena beberapa ahli memandang bullying sebagai agresi yang berulang
(Rigby, 2002:31-32). Olweus (1993) menulis bahwa bullying terjadi saat korban mengalami tindakan negatif yang berulang dan terus menerus;
Besag (1989) mengemukakan bahwa dalam bullying
selalu ada serangan yang berulang; Farrington (1993) menyebut bullying sebagai ‘repeated oppresion’; Irish Department of Health and Children (1999)
mengindikasikan bullying sebagai ‘repeated aggression’; Smith dan
Sharp (1994) mengklaim bahwa bullying adalah ‘suatu pelecehan kekuasaan
yang sistematik’ ; Losel dan
Bliesener (1999) dari Jerman mengartikan bullying
sebagai ‘relative frequent and long
lasting aggresiveness’; National Police Agency of Japan mengartikan bullying sebagai ‘pressure continually repeated’ (Morita, 1996); Rolland menggunakan
istilah ‘long-standing violence’
untuk menggambarkan bullying; Lane
(1989) berpendapat bahwa bullying
merupakan perilaku yang diulangi lebih dari satu kejadian; Mora-Merchan (1999)
menyatakan bullying sebagai ‘continuous abusive behaviour’.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, dapat diperoleh kesimpulan
bahwa bullying merupakan bentuk tindakan
kekerasan yang repetitif,
cenderung diulang, dilakukan berkali-kali atau terus menerus selama periode
waktu tertentu. Olweus (1993) menspesifikan ”repetition” dalam definisi bullying
di awal untuk mengecualikan insiden-insiden minor atau kejadian-kejadian tidak
serius yang kadang-kadang terjadi. Kendatipun demikian, Olweus juga
mengindikasikan bahwa hal serius tunggal ”di dalam keadaan tertentu” harus
dianggap sebagai bullying.
Berdasarkan studi kerjasama yang dilakukan Olweus dan Rolland (1970 dalam
Rigby, 2002:32), diperoleh kesepakatan mengenai kriteria operasional. Agar
dapat disebut sebagai bullying, maka
agresi atau bentuk kekerasan lainnya harus terjadi sedikitnya sekali dalam
seminggu atau lebih selama periode waktu satu bulan.
Dari beberapa pengertian yang
telah dikemukakan di atas,
dapat dilihat bahwa pada dasarnya bullying adalah suatu perilaku agresif
yang sengaja dilakukan dengan motif tertentu. Suatu perilaku agresif
dikategorikan sebagai bullying ketika perilaku tersebut telah menyentuh
aspek psikologis korban. Jadi, bullying ialah suatu perilaku sadar yang
dimaksudkan untuk menyakiti dan menciptakan terror bagi orang lain yang lebih lemah.
Bullying disebut perilaku sadar karena perilaku ini dilakukan secara berulang,
terorganisir dan memiliki tujuan yaitu untuk menciptakan teror bagi korban.
Hal ini didukung oleh
pernyataan bahwa kebanyakan definisi bullying
dikategorikan sebagai suatu sub bagian dari perilaku agresif yang melibatkan suatu
maksud untuk menyakiti orang lain
(Camodeca et al. 2003; Olweus 1978;
Rivers & Smith, 1994; Smith & Thompson, 1991; dalam Sanders, 2003:15).
Bullying disebut sebagai sub bagian dari perilaku agresif karena di dalamnya
melibatkan agresi atau serangan. Rivers dan Smith (1994, dalam Sanders
2003:24) mengidentifikasi tiga tipe agresi yang termasuk dalam bullying:
Agresi fisik langsung, agresi verbal
langsung, dan agresi tidak
langsung. Agresi langsung mencakup perilaku-perilaku yang jelas
seperti memukul, mendorong, dan menendang. Agresi verbal langsung mencakup
penyebutan nama dan ancaman. Agresi tidak langsung melibatkan perilaku-perilaku
seperti menyebarkan rumor dan menceritakan cerita-cerita. Agresi langsung itu
secara eksplisit diperlihatkan dari agresor ke korban sedangkan agresi tidak
langsung melibatkan pihak ketiga.
Dodge (1991, dalam Sanders,
2003:24) memperkenalkan gagasan tentang dua tipe agresi: agresi pro-aktif dan agresi reaktif. Agresi reaktif
melibatkan reaksi-reaksi marah dan defensif pada frustasi, sementara agresi
proaktif dicirikan dengan perilaku-perilaku yang diarahkan tujuan, dominan, dan
memaksa. Seorang individu yang menunjukan agresi proaktif itu berdarah dingin
dan akan menggunakan agresi untuk mencapai tujuannya ini. Di sisi lain, agresor
reaktif seringkali salah menafsirkan tanda-tanda sosial dan menghubungkan
maksud-maksud permusuhan dengan teman-teman sebayanya. Kedua tipe agresi ini
telah dihubungkan dengan kekurangan atau kesalahan dalam pemerosesan informasi
sosial.
Crick dan Dodge (1999, dalam
Sanders 2003:25) telah menerapkan agresi reaktif dan proaktif pada fenomena bullying
dan berhipotesa bahwa para pelaku bullying akan memperlihatkan agresi
proaktif sementara korbannya akan memperlihatkan agresi reaktif secara dominan.
Salmivaly dan Nieminen (2002) memperlihatkan hasil-hasil penelitiannya bahwa
pelaku – korban bullying (individu yang berkali-kali menjadi pelaku bullying
dan pada kali lain sering menjadi korban bullying) menunjukan tingkatan
agresi paling tinggi (baik proaktif maupun reaktif) dibandingkan dengan
individu lain. Para pelaku bullying
secara signifikan menunjukan tingkatan-tingkatan agresi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan para korban.
Perilaku bullying merupakan
perilaku yang continuum. Askew (1989,
dalam Rigby 2002:41) merupakan orang pertama yang meyakini hal ini, Askew dalam
bukunya menulis bahwa ‘bullying is a
continuum that involves attempt to gain power and dominance over another’.
Pendapat ini didukung oleh Morita (1996, dalam Rigby 2002:41) seorang sosiolog
dari Jepang yang menyatakan bahwa bullying
bukanlah suatu persoalan hitam dan putih. Secara gradual, bullying bisa menjadi seperti putih kusam yang kemudian menjadi
abu-abu, kemudian menjadi hitam yang paling hitam.
Perilaku continuum perlu memiliki
nilai tersendiri di setiap tingkatannya, oleh karena itu diperlukan kriteria mengenai apa yang perlu
dipertimbangkan dalam rangka menetapkan tingkatan dari perilaku tersebut.
Terkait dengan perilaku bullying,
Rigby (2002:41-42) memaparkan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam rangka
menentapkan tingkatan atau intensitas perilaku bullying :
1)
jenis tindakan bullying,
misalnya ejekan verbal sampai dengan serangan fisik.
2)
durasi terjadinya bullying,
apakah dalam periode waktu yang singkat atau panjang.
3)
frekuensi terjadinya bullying, misalnya harian, mingguan atau sangat sering.
Bullying kategori rendah (low) biasanya melibatkan periode yang
singkat (1-8 hari dalam satu bulan), tindakannya dapat meliputi ejekan,
pemberian julukan yang buruk, dan pengucilan sewaktu-waktu. Bullying dalam kategori ini biasanya
menyebalkan dan tidak menyenangkan serta dapat bereskalasi menjadi bentuk bullying yang lebih serius. Kebanyakan
perilaku bullying di sekolah berada
dalam tingkatan ini.
Bullying kategori sedang (intermediate) terjadi saat seseorang
mengalami bentuk pelecehan dan penghinaan yang sistematik dan meyakinkan selama
periode waktu yang cukup lama (9-16 hari dalam satu bulan). Tindakannya dapat
meliputi ejekan yang kejam, pengucilan yang berkelanjutan, dan beberapa ancaman
dan serangan fisik yang halus seperti mendorong, menjegal, menarik baju dan
sebagainya.
Bullying kategori tinggi (severe) melibatkan intimidasi dan
tekanan yang kejam dan intens,
terutama saat hal tersebut terjadi dalam jangka waktu yang panjang atau lama
dan sangat menimbulkan distress bagi korbannya. Bullying kategori ini seringkali melibatkan serangan fisik yang
cukup ekstrim seperti memukul, menendang, melukai dengan senjata dan
sebagainya, namun bisa juga melibatkan aksi non-fisik seperti pengasingan total
dari kelompok, fitnah yang kejam dan sarkasme yang berlebihan.
Rigby (2002:42) mengemukakan perlunya mengklasifikasikan perilaku bullying ke dalam suatu kontinum
perilaku karena apabila kita beranggapan bahwa semua tindakan bullying adalah sama, maka kita akan
menciptakan kesan bahwa seluruh tindakan bullying
dilakukan dengan cara yang sama. Contohnya, kita bisa saja memandang
ejek-ejekan yang terjadi kadang-kadang dalam cara yang sama seperti kita
memandang serangan fisik yang terjadi berulang-ulang.
3.
Jenis
Bullying
Beragam upaya telah
ditempuh untuk menetapkan garis pemisah antara subtipe-subtipe bullying secara umum. Hal ini dilakukan
dengan mengklasifikasikan jenis-jenis bullying
menurut cara penyampaian perilaku bullying
itu sendiri. Olweus (1993, dalam Rigby:37) di awal studinya membagi bullying menjadi tiga jenis yakni:
a. Bullying
fisik. Misalnya memukul, menendang dan sebagainya.
b. Bullying
verbal. Misalnya menjuluki dengan nama yang buruk dan sebagainya.
c. Bullying
gestural. Misalnya memandang orang lain dengan pandangan sinis atau mengancam.
Crick dan Gothpeter
(1995) menambahkan jenis lain dari bullying
yang dilakukan secara non-fisik dan melibatkan agresi tidak langsung, namun
dampaknya sangat buruk bagi aspek emosional korban. Bullying jenis ini disebut bullying
relasional yang diartikan sebagai ‘upaya membahayakan orang lain melalui
manipulasi yang bertujuan dan perusakan terhadap hubungan pertemanannya’ (Crick
& Gothpeter 1995; dalam Rigby 2002:38). Pendapat ini didukung oleh Galen
dan Underwood (1997:589) yang menambahkan bahwa bullying relasional melibatkan tindakan-tindakan seperti ‘penolakan
secara verbal, ekspresi wajah negatif, gerak tubuh mengancam atau tidak menyenangkan, dan bentuk yang lebih langsung seperti
penyebaran rumor yang keliru dan pengasingan sosial’.
O’Moore dan Minton
(2004:74) menambahkan satu lagi jenis bullying
yang melibatkan agresi tidak langsung dan media elektronik, jenis bullying ini disebut electronic bullying atau e-bullying atau cyber bullying. Seiring dengan perkembangan teknologi, cara-cara
untuk melakukan tindakan bullying pun
semakin banyak salah satunya adalah dengan memanfaatkan fasilitas internet dan
alat elektronik seperti komputer, kamera, handphone
dan perekam audio-video. Pelaku bullying
dapat mengirimkan gambar, teks, animasi yang sifatnya mengancam, menyebarkan
rumor dan gosip, dan menebar teror melalui berbagai fasilitas e-mail, sms, telepon, testimoni website, chatting room, webcam, video call dan sebagainya dengan tujuan
untuk mempermalukan atau menyakiti korbannya.
Lebih lengkap lagi, Barbara
Coloroso (2006:47-50) merangkum berbagai pendapat ahli dan membagi bullying ke dalam empat jenis, yaitu:
a. Bullying secara verbal, berupa julukan nama, celaan,
fitnah, kritik kejam, penghinaan (baik yang bersifat pribadi maupun rasial),
pernyataan-pernyataan bernuansa ajakan seksual atau pelecehan seksual, teror,
surat-surat yang mengintimidasi, tuduhan-tuduhan yang tidak benar, kasak-kusuk
yang keji dan keliru, gosip dan lain sebagainya. Dari ketiga jenis bullying, bullying dalam bentuk verbal adalah salah satu jenis
yang paling mudah dilakukan, kerap menjadi awal dari perilaku bullying yang lainnya serta dapat menjadi langkah
pertama menuju pada kekerasan yang lebih jauh.
b. Bullying secara fisik, yang termasuk jenis ini ialah
memukuli, mencekik, menyikut, meninju, menendang, menggigit, emiting, mencakar,
serta meludahi anak yang ditindas hingga ke posisi yang menyakitkan, merusak
serta menghancurkan barang-barang milik anak yang tertindas. Kendati bullying jenis ini adalah yang paling tampak dan mudah
untuk diidentifikasi, namun kejadian bullying secara fisik tidak sebanyak bullying dalam bentuk lain. Anak yang secara teratur
melakukan bullying
dalam bentuk ini kerap merupakan anak yang paling bermasalah dan cenderung
beralih pada tindakan-tindakan kriminal yang lebih lanjut.
c.
Bullying secara relasional (pengabaian),
digunakan untuk mengasingkan atau menolak seorang teman atau bahkan untuk
merusak hubungan persahabatan. Bullying secara relasional adalah
pelemahan harga diri si korban secara sistematis melalui pengabaian,
pengucilan, pengecualian atau penghindaran. Perilaku ini dapat mencakup
sikap-sikap yang tersembunyi seperti pandangan yang agresif, lirikan mata,
helaan nafas, bahu yang bergidik, cibiran, tawa mengejek dan bahasa tubuh yang
kasar. Bullying secara relasional mencapai puncak kekuatannya di awal
masa remaja, saat terjadi perubahan-perubahan fisik, mental, emosional dan
seksual. Ini adalah saat ketika remaja mencoba untuk mengetahui diri mereka dan
menyesuaikan diri dengan teman-teman sebaya.
d.
Bullying
elektronik, merupakan
bentuk perilaku bullying yang dilakukan pelakunya melalui sarana
elektronik seperti komputer, handphone,
internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya. Biasanya ditujukan
untuk meneror korban dengan menggunakan tulisan, animasi, gambar dan rekaman
video atau film yang sifatnya mengintimidasi, menyakiti atau menyudutkan. Bullying
jenis ini biasanya dilakukan oleh kelompok remaja yang telah memiliki pemahaman
cukup baik terhadap sarana teknologi informasi dan media elektronik lainnya.
Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik dan anak wanita
banyak menggunakan bullying
relasional/emosional, namun keduanya sama-sama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih
berkaitan dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan
perempuan (Coloroso, 2006:51).
4.
Proses dan Siklus Bullying
Proses dan siklus dimana bullying
dimulai dan berkembang dapat diilustrasikan dalam serangkaian diagram. Gambar
2.1 memperlihatkan siklus dimulainya bullying. Siklus atau proses bullying
dimulai saat terdapat anak yang relatif
lemah dan rentan terhadap serangan orang lain. Menurut penelitian, biasanya anak semacam ini
introvert, secara fisik lebih lemah dibanding anak-anak lain, cemas,
terisolir dan dijadikan objek olok-olok. Selanjutnya, muncul seorang anak atau
sekelompok anak yang lebih kuat dan menempatkan korban kedalam situasi bullying.
Situasi bullying ini biasanya dimulai dengan olok-olok dan ejekan, dan
hal tersebut bisa tidak berlanjut dan bisa juga berkembang menuju tingkat yang
lebih tinggi. Beberapa anak mulai ikut serta menjadi pelaku bullying dan
korban mulai mengalami kekerasan verbal, tekanan dan dalam kasus yang ekstrim
ia bisa saja mengalami serangan fisik. Periode penolakan ini bisa beralih
menjadi periode dimana korban menjadi terisolir.
Gambar 2.1 Siklus
Dimulainya Bullying
Jika korban merupakan korban
pasif dan tidak resisten, maka siklus akan berlanjut seperti pada gambar 2.2.
Dalam gambar 2.2 terlihat bahwa korban pasif biasanya merasa takut dan cemas.
Jika korban memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia terganggu atau ia menyerah,
maka hal tersebut merupakan bukti bahwa si pelaku berhasil. Pelaku memperoleh
rasa senang dan puas atas dominasinya. Jika ada pembenaran atau penguatan dari
orang lain (bystanders), maka secara perlahan empati si pelaku akan
menghilang dan bullying akan berlanjut menjadi bentuk yang lebih intens
dan lebih terelaborasi. Bagi korban hal ini merupakan pengalaman yang akan
menghantui dirinya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Gambar 2.2 Siklus Bullying
Terhadap Korban Pasif
Siklus bullying dapat
terhenti ketika ada korban yang berusaha mencari pertolongan atau mencari cara
untuk melepaskan diri menghindar dari pelaku bullying, ada yang
menemukan cara tersebut dan ada juga yang tidak. Cara-cara yang ditempuh bisa
dengan melarikan diri, melawan balik, bersikap dingin seakan tidak terjadi
apa-apa, ataupun mencari bantuan dengan melapor pada orang dewasa. Korban yang
menemukan cara untuk lepas dari situasi bullying disebut korban yang
resisten. Ada
juga korban yang menjadi resisten karena memperoleh pertolongan dari pihak
lain, dan hal ini juga dapat mendobrak siklus bullying. Siklus bullying
dengan korban yang resisten akan berlanjut seperti digambarkan oleh gambar 2.3.
Gambar 2.3 Siklus Bullying
Terhadap Korban Resisten
5.
Bullying sebagai Proses Kelompok
Sebagai remaja kebutuhan identitas sosial adalah sesuatu yang sangat
kuat, sehingga individu di masa ini akan menerima saja segala persyaratan yang
diberikan oleh kelompok. Proses pencarian identitas diri dilakukan remaja untuk
mendapatkan kejelasan mengenai dirinya dan untuk membentuk diri menjadi seorang
yang utuh dan unik. Pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi
terlalu bergantung pada keluarganya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman
dari kelompok sebayanya. Karena itu, pencarian identitas diri mereka dapatkan
melalui penggabungan diri dalam kelompok sebaya atau kelompok yang diidolakan,
Bagi remaja penerimaan kelompok penting karena mereka bisa berbagi rasa dan
pengalaman dengan teman sebaya dan kelompoknya. Kelompok sebaya menjadi model
atau contoh bagi remaja dalam upaya pencarian identitas diri (Turner &
Helms,1987:22).
Bagi beberapa pendidik dan peneliti, bullying dianggap sebagai
suatu proses dyadic (terdiri dari dua bagian) yang melibatkan pelaku (bully) dan korban (victim). Perspektif penelitian ini secara dominan memfokuskan pada
nominasi teman sebaya dan/atau laporan guru dimana anak-anak dan/atau para guru
diminta untuk mengidentifikasi individu-individu manakah yang menjadi pelaku (bully) dan manakah yang korban (victim). Misalnya, Marsh dkk. (2001)
menggunakan istilah troublemaker ’pengacau’ dan victim ’korban’.
Pengacau digambarkan sebagai individu yang tidak mengikuti aturan, terlibat
dalam perkelahian, dan mengganggu individu lain. Di sisi lain, korban adalah
anak yang tidak merasa aman di sekolah karena menerima ancaman dan/atau
gangguan fisik yang nyata oleh seseorang di sekolahnya.
Menurut Sutton dan Smith
(1999), bullying hendaklah tidak dipandang secara eksklusif sebagai
sebuah proses dyadic. Hendaknya, bullying
dipandang sebagai suatu fenomena kelompok. Kebanyakan anak-anak secara langsung
atau pun secara tidak langsung terlibat dalam bullying yang muncul di
sekolah mereka (Hawkins, Pepler & Craig, 2001). Pepler dan Craig (1995)
menemukan bahwa teman-teman sebaya itu hadir pada 85% situasi bullying;
jadi insiden ini berpengaruh tidak hanya pada pelaku dan korban melainkan juga
individu-individu yang menyaksikan bullying dan individu-individu yang
mendengar mengenai kemunculan tindak bullying tersebut. Salmivalli et
al. (1996) berpendapat bahwa semua anak di suatu kelas atau sekolah tertentu
walau bagaimana pun terlibat dalam proses bullying. Sekalipun mereka
tidak secara aktif berpartisipasi dalam perilaku bullying, respon mereka
pada tindak bullying dapat mempengaruhi apakah bullying akan
terulang lagi atau tidak.
Terjadinya bullying
di sekolah merupakan suatu proses dinamika kelompok, di mana ada
pembagian-pembagian peran di dalamnya (Salmivalli dkk, 1996 & 1999). Salmivalli dan kawan-kawan (1996) mengidentifikasi
enam subskala yang menggambarkan berbagai peran serta dalam situasi bullying:
ringleader bully, assistant of the bully, reinforcer of the bully, defender
of the victim, outsider, dan victim. Ringleader bully mengambil
peran aktif dalam memulai bullying. Assistant
bully aktif dalam proses-proses bullying namun lebih sekedar
pengikut ringleader bully. Reinforcer berperan dalam mendorong perilaku bullying.
Defender of victim terlibat dalam perilaku-perilaku melindungi dan
membantu korban dan juga berusaha menghentikan pelaku bullying untuk
tidak melanjutkan tindakannya.
Karatzias, Power, dan Swanson
(2002) mengidentifkasi peran-peran yang terbagi sebagai hasil dari dinamika
kelompok dalam bullying, yakni:
bully atau pelaku bullying, victim
atau korban, dan uninvolved ’pihak yang tidak terlibat’. Menesini,
Fonzi, dan Sanchez (2002) mengidentifikasi para siswa ke dalam bully,
victim, outsider atau pihak luar, dan defender atau pihak
yang bertahan. Outsiders adalah individu yang tidak secara langsung
terlibat dalam episode bullying. Defender adalah individu yang
berusaha menolong korban bullying dalam berbagai cara.
Olafsen, dan Viemero (2000)
mengidentifikasi peran-peran jamak dalam bullying. Hasil-hasil
penelitian mereka memperlihatkan lima
peran dalam proses bullying: bully, bully-victim, victim of direct bullying,
victim of indirect bullying, dan individuals not involved.
Pandangan bullying sebagai sebuah fenomena sosial juga
ditekankan dalam penelitian yang dilaksanakan oleh McKinnon (2001) berpendapat
bahwa bullying meliputi peran yang banyak (multiple). Setelah melaksanakan penelitian yang ekstensif, lima
peran sepsifik teridentifikasi. Ia berkesimpulan bahwa bullies, victims,
guardians, hencemen, dan active bystanders semuanya bagian dari
proses bullying. Guardians adalah individu-individu yang
melindungi korban. Hencemen adalah pengikut setia dari pelaku bullying, dan active bystanders atau saksi peristiwa tersebut. Hasil
penelitian menunjukan adanya suatu hubungan antara keanggotaan kelompok kelas
dan partisipasi dalam episode-episode bully.
McKinnon (2001) menemukan
bahwa anak-anak yang masuk ke dalam sebuah kelompok kelas yang menonjol dan
memegang peranan kepemimpinan yang menonjol itu paling dimungkinkan mengambil
peran sebagai pelaku bullying atau peran sebagai guardian. Anak-anak
yang menjadi anggota kelompok kelas yang menonjol namun tidak memegang peranan
kepemimpinan itu paling dimungkinkan berfungsi sebagai active bystanders dalam
suatu situasi bullying. Terakhir, anak-anak yang tidak masuk ke dalam
sebuah kelompok sosial kelas itu paling dimungkinkan menjadi korban dalam
sebuah situasi bullying. Jadi, dinamika kelompok tampak memainkan suatu
peran sentral pada bullying. Secara keseluruhan, literatur
penelitian mengindikasikan bahwa bullying itu danpandang lebih sering sebagai suatu
fenomena kelompok sebagai lawan dari interaksi dyadic.
6.
Faktor Penyebab Terjadinya Perilaku Bullying
Quiroz dkk (2006 dalam
sejiwa.or.id) mengemukakan sedikitnya terdapat tiga faktor yang dapat
menyebabkan perilaku Bullying, yaitu :
a. Hubungan keluarga
Anak akan meniru berbagai
nilai dan perilaku anggota keluarga yang ia lihat sehari-hari sehingga menjadi
nilai dan perilaku yang ia anut (hasil dari imitasi). Sehubungan dengan
perilaku imitasi anak, jika anak dibesarkan dalam keluarga yang menoleransi
kekerasan atau bullying, maka
ia mempelajari bahwa bullying adalah suatu perilaku yang bisa diterima dalm
membina suatu hubungan atau dalam mencapai apa yang diinginkannya (image), sehingga kemudian ia meniru
(imitasi) perilaku bullying tersebut. Menurut Diena Haryana (sejiwa.or.id),
karena faktor orangtua di rumah yang tipe suka memaki, membandingkan atau
melakukan kekerasan fisik. Anak pun menganggap benar bahasa kekerasan.
b. Teman sebaya
Salah satu faktor besar
dari perilaku bullying pada remaja disebabkan oleh adanya teman
sebaya yang memberikan pengaruh negatif dengan cara menyebarkan ide (baik
secara aktif maupun pasif) bahwa bullying bukanlah suatu masalah besar dan
merupakan suatu hal yang wajar untuk dilakukan. Menurut Djuwita Ratna (2006)
pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk tidak lagi tergantung pada
keluarga nya dan mulai mencari dukungan dan rasa aman dari kelompok sebayanya.
Jadi bullying terjadi karena adanya tuntutan konformitas.
Berkenaan dengan faktor teman sebaya dan lingkungan sosial, terdapat beberapa
penyebab pelaku bullying melakukan tindakan bullying adalah (1)
kecemasan dan perasaan inferior dari seorang pelaku, (2) persaingan yang tidak
relistis, (3) perasaan dendam yang muncul karena permusuhan atau juga karena
pelaku bullying pernah menjadi korban bullying
sebelumnya, dan (4) ketidak mampuan menangani emosi secara positif (Rahma, 2008:47).
c. Pengaruh media
Survey yang dilakukan
kompas (Ipah Saripah, 2006:3) memperlihatkan bahwa 56,9% anak meniru
adegan-adegan film yang ditontonnya, umumnya mereka meniru geraknya (64%) dan
kata-katanya (43%).
Melalui pelatihan yang
diselenggarakan oleh Yayasan Sejiwa (2007), terangkum beberapa pendapat
orangtua tentang mengapa anak-anak menjadi pelaku bullying, diantaranya
: (a) karena mereka pernah menjadi korban bullying, (b) ingin
menunjukkan eksistensi diri, (c) ingin diakui, (d) pengaruh tayangan TV yang
negatif, (e) senioritas, (f) menutupi kekurangan diri, (g) mencari perhatian,
(h) balas dendam, (i) iseng, (j) sering mendapat perlakuan kasar dari pihak
lain, (k) ingin terkenal dan (l) ikut-ikutan (Sejiwa.or, 2007:16).
7.
Dampak Perilaku Bullying
Bullying tidak hanya berdampak terhadap korban,
tapi juga terhadap pelaku, individu yang menyaksikan dan iklim sosial yang pada
akhirnya akan berdampak terhadap reputasi suatu komunitas ( Hilda, et all. 2006,
dalam sejiwa.or.id). Terdapat
banyak bukti tentang efek-efek negatif jangka panjang dari tindak bullying pada para korban dan pelakunya.
Pelibatan dalam bullying sekolah
secara empiris teridentifikasi sebagai sebuah faktor yang berkontribusi pada
penolakan teman sebaya, perilaku menyimpang, kenalakan remaja, kriminalitas,
gangguan psikologis, kekerasan lebih lanjut di sekolah, depresi, dan ideasi
bunuh diri. Efek-efek ini telah ditemukan berlanjut pada masa dewasa baik untuk
pelaku maupun korbannya (Marsh, dalam Sanders 2003:29).
Bullying juga berpengaruh pada sekolah
dan masyarakat. Sekolah dimana bullying
itu terjadi seringkali dicirikan dengan (a) para siswa yang merasa tidak aman
di sekolah, (b) rasa tidak memiliki dan ketidakadaan hubungan dengan masyarakat
sekolah, (c) ketidakpercayaan di antara para siswa, (d) pembentukan gang formal
dan informal sebagai alat untuk menghasut tindakan bullying atau melindungi kelompok dari tindak bullying, (e) tindakan hukum yang diambil menentang sekolah yang
dilakukan oleh siswa dan orang tua siswa, (f) turunnya reputasi sekolah di
masyarakat, (g) rendahnya semangat juang staf dan meningginya stress pekerjaan,
(g) dan iklim pendidikan yang buruk (Marsh, dalam Sanders 2003:29).
a. Dampak
bagi korban
Hasil studi yang dilakukan National
Youth Violence Prevention Resource Center (Sanders, 2003:118) menunjukkan
bahwa bullying dapat membuat remaja merasa cemas dan ketakutan,
mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk
menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang
lama, dapat mempengaruhi self-esteem
siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku menarik diri,
menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman.
Dalam kasus yang lebih ekstrim,
bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan bisa membunuh
atau melakukan bunuh diri (commited
suicide).
Coloroso (2006:70) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa
korban secara berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban,
yaitu korban akan merasa depresi dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri,
terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang di sekitarnya dan
terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut
kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi
muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin
akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (2000, dalam
Northwest Regional Educational Laboratory, 2001:33) menunjukkan bahwa
perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran,
rendahnya prestasi akademik siswa, rendahnya self-esteem, tingginya
depresi, tingginya kenakalan remaja dan kejahatan orang dewasa. Dampak negatif
bullying juga
tampak pada penurunan skor tes kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan
hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.
b. Dampak bagi pelaku
National Youth Violence
Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini
memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi pula,
cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan, tipikal
orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah terhadap
frustasi (Sanders, 2003:118).
Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi orang
lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan tersebut
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan bahwa
siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat
mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif
lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai
sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan bullying,
pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika
dibiarkan terus menerus tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat
menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan
perilaku kriminal lainnya.
c. Dampak
bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders)
Jika bullying dibiarkan
tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi penonton dapat berasumsi
bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam
kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut
menjadi sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja
tanpa melakukan apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu
menghentikannya.
8.
Karakteristik Pelaku Bullying
Rigby (2002:127)
mengidentifikasi karakteristik fisik dan karakteristik mental dari pelaku bullying atau bully. Pelaku bullying merupakan agresor, provokator dan
inisiator situasi bullying. Si pelaku umumnya siswa yang memiliki fisik
besar dan kuat, namun tidak jarang juga ia bertubuh kecil atau sedang namun
memiliki dominasi psikologis yang besar di kalangan teman-temannya dikarenakan
faktor status sosial atau kedudukan. Pelaku bullying
biasanya mengincar anak yang secara penampilan fisik terlihat berbeda dari
dirinya atau orang kebanyakan misalnya yang memiliki warna rambut alami yang
mencolok, berkacamata, terlalu kurus, terlalu gemuk atau bahkan yang memiliki
cacat fisik.
Karakteristik mental pelaku bullying dipengaruhi oleh aspek
kognitif, afektif dan behavioral dalam diri si pelaku itu sendiri. Pada aspek
kognitif, Tim Field (1999 dalam Rigby 2002:130) mengemukakan beberapa
karakteristik pelaku bullying atau
bully, yakni:
a. kurang pemahaman akan apa yang dikatakan
orang lain
b. sering memunculkan dugaan yang salah
c. memiliki memori yang selektif
d. paranoid
e. kurang dalam hal insight
f. sangat pencuriga
g. terlihat cerdas namun penampilan
sebenarnya tidak demikian
h. tidak kreatif
i.
kesal
terhadap perbedaan minor
j.
kebutuhan
impulsif untuk mengontrol orang lain
k. tidak dapat belajar dari pengalaman
Sementara itu pada aspek
afektif, Field (1999 dalam Rigby 2002:135) menguraikan juga beberapa
karakteristik pelaku bullying,
diantaranya:
a. tidak matang secara emosional
b. tidak mampu menjalin hubungan akrab
c. kurang kepedulian terhadap orang lain
d. moody dan tidak konsisten
e. mudah marah dan impulsif
f. tidak memiliki rasa bersalah atau menyesal
Terkait aspek behavioral atau
perilaku, karakteristik perilaku bullying
terangkum dari apa yang dinyatakan Batsche & Knoff (1994 dalam Banks, 1997) dan Olweus (1993 dalam Rigby
2002:137) yakni, kurang empati (have a lack of emphaty and compassion),
interpersonal skill buruk (poor
interpersonal skill), tidak terampil dalam anger manajemen (have a trouble in anger management or anger
resolution), kendali diri lemah (have
bad self control), kurang bertanggung jawab (refusal to accept responsibility for his/her behavior) dan memiliki
pola perilaku impulsif agresif
(have a greater than average impulsive aggressive
behavior patterns).
1)
Melakukan perilaku agresif berulang
2)
Berpikiran positif terhadap penggunaan kekerasan
3)
Kurang kasih sayang dalam suatu hubungan
4)
Mengalami kebingungan dalam diri
5)
Mengembangkan pola perilaku impulsif
6)
Menggantikan/menyalurkan kemarahan pada orang lain
7)
Beralih dari korban menjadi pelaku
8)
Dianggap lebih dominan dari korban
9)
Agresif, merasa tidak aman dan cemas
10) Anti-sosial
dan terisolir
11) Memiliki/memendam
rasa kebencian dan frustasi
12) Memiliki
pandangan diri (self views) positif
yang tidak realistis
13) Tidak
mampu menyesuaikan terhadap pengharapan baru/kurang jelas
14) Menunjukkan
ketidaknyamanan sosial dan kebingungan
15) Seringkali
tidak sadar dan tidak peduli terhadap rasa dendam korbannya
16) Diasingkan
dan terisolasi dari kehidupan sekolah dan teman sebaya
17) Memandang
sekolah sebagai sesuatu yang tidak bermakna
18) Memiliki
pola perilaku dan sejarah bertindak kejam terhadap binatang
19) Memiliki
pola perilaku pembuat onar
20) Kurang
toleransi terhadap frustasi
21) Suka
membanggakan diri dan kurang memahami kebutuhan orang lain
22) Kurang
memiliki empati dan rasa iba
23) Kebutuhan
yang berlebihan akan kekuasaan dan superioritas
24) Kebutuhan
yang berlebih akan perhatian (haus perhatian)
25) Mengeksternalisasikan
kesalahan
26) Bermasalah
dalam resolusi amarah (anger resolution)
27) Tidak
toleran, berprasangka, dan membeda-bedakan orang lain
28) Humor
yang tidak pantas, sarkastik, dan menyakitkan hati.
29) Melontarkan
ejekan, olok-olok yang mencela, meremehkan dan menghina/mempermalukan
30) Lebih
memilih kelompok social yang tertutup
31) Mengendalikan
suatu perkumpulan social teman sebaya
32) Kaku
dan berpendirian keras (dogmatis)
33) Agresif
secara seksual
34) Kurang
memiliki sensitivitas terhadap gender dan budaya
35) Mengalami
kekosongan atau kehampaan spiritual
36) Seringkali
berpikiran negatif dan
irrasional
37) Menggunakan
obat-obatan terlarang
38) Melakukan
tindakan yang beresiko
39) Sikap
menantang dan merusak (destruktif)
40) Kurang
memiliki ketabahan
Terkait dengan karakteristik
pelaku bullying yang menunjukkan
kurangnya keterampilan interpersonal pada pelaku bullying, hasil penelitian yang dilakukan Rigby, Cox dan Black
(1997; dalam Rigby 2002:137) terhadap siswa sekolah menengah di Australia yang
teridentifikasi sebagai pelaku bullying,
korban dan bukan keduanya, mengindikasikan bahwa pelaku bullying secara siginifikan merupakan individu yang kurang
kooperatif dibanding individu lainnya. Rigby, Cox dan Black (1997; dalam Rigby
2002:137) menyatakan bahwa,
‘Bullies were, among other things, more likely
than others to dislike being in join projects, to prefer not to share their
ideas, to avoid consulting with others and to believe that committees are waste
of time. It seems likely that for many of the bullies working constructively
with others had not been a happy experience’.
Ditemukan banyak alasan
mengapa seseorang menjadi pelaku bullying. Alasan yang paling jelas
adalah bahwa pelaku bullying merasakan kepuasan apabila ia “berkuasa” di
kalangan teman sebayanya. Tidak semua pelaku bullying melakukan aksinya
sebagai kompensasi kepercayaan diri yang rendah. Banyak diantara mereka justru
memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi sekaligus dorongan untuk selalu
menindas dan menggencet anak yang lebih lemah. Hal ini dapat dikarenakan mereka
tidak pernah didik untuk memiliki empati terhadap orang lain. Pelaku bullying
umumnya temperamental, menjadikan korban sebagai pelampiasan kekesalan dan
kekecewaannya terhadap suatu hal. Ada juga pelaku bullying yang sekedar
mengulangi apa yang pernah ia lihat dan alami sendiri.
Hal ini didukung oleh
pernyataan Olweus (2002:1) dalam OSDFS
National
Technical Assistance Meeting yang mengemukakan fakta yang mengejutkan mengenai kontradiksi dalam karakteristik pelaku bullying,
Technical Assistance Meeting yang mengemukakan fakta yang mengejutkan mengenai kontradiksi dalam karakteristik pelaku bullying,
‘In contrast to the popular notion that
bullies lack social skills, research has shown that bullies are actually quite
adept at reading social cues and perspective-taking. Rather than using these
skills prosocially, such as to empathize with others, they instead use them to
identify and prey on peer vulnerabilities’.
Di Indonesia, dari hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rahma Nuraini (2008:78) ditemukan beberapa
karakteristik pelaku bullying yakni: 1) suka mendominasi orang lain; 2)
suka memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan; 3)
sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain; 4) hanya peduli pada
kebutuhan dan kesenangan mereka sendiri; 5) cenderung melukai anak-anak lain
ketika tidak ada orang dewasa di sekitar mereka; 6) memandang rekan yang lebih
lemah sebagai mangsa; 7) menggunakan kesalahan, kritikan dan tuduhan-tuduhan
yang keliru untuk memproyeksikan ketidakcakapan mereka kepada targetnya; 8)
tidak mau bertanggung jawab atas tindakannya; 9) tidak memiliki pandangan
terhadap masa depan, yaitu tidak mampu memikirkan konsekuensi dari tindakan
yang mereka lakukan; 10) haus perhatian.
9.
Penanganan
Pelaku Bullying
Bullying merupakan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sosial
secara keseluruhan. Serangan dari pelaku bullying terjadi dalam suatu
konteks sosial dimana guru dan orangtua umumnya tidak menyadari permasalahan
tersebut, dan para remaja lainnya rentan untuk terlibat dalam situasi bullying
sementara beberapa lainnya tidak mengetahui cara untuk keluar dari situasi
tersebut (Charach, Pepler, & Ziegler, 1995).
Bentuk-bentuk penanganan yang umum terhadap pelaku bullying telah
banyak dilakukan baik yang sifatnya prevensi maupun intervensi, seperti
misalnya pengembangan kebijakan anti bullying berbasis sekolah (bully-buster,
bully-reduce, bully-free, bully-safe, program SAHABAT, kampanye
sekolah-aman), resolusi konflik, dan peer counseling (Smith and Sharp, 1994).
Sementara itu penanganan yang berbasis pada teori konseling/psikoterapi
tertentu masih terbatas seperti halnya penggunaan Cognitive Behavioral Therapy (McLaughlin, Laux, Pescara-Kovach;
2006), pendekatan behavioral (Drosopoulos, Heald, McCue; 2008), Transtheoritical Model (Prochaska, 1983
dalam Ponny, 2008), model kognitif
sosial (Crick dan Dodge, 1994), serta cooperative learning activities
(Olweus, 1993) yang dikembangkan dari teori belajar sosial Albert
Bandura.
STOP BULLYING !!!
REFERENSI :
Montrose Are School
District . 2005. Handbook
of Bully Busters Programme. (Online). Tersedia : www.ocdsb.ca/General_Info/Safe_and_caring/downloads.pdf (Desember 2008).
National Youth Violence Prevention
Resource Center . 2002. Facts for Teens:
Bullying. (Online). Tersedia: http://www.safeyouth.org. (5 Mei 2007).
REFERENSI :
Antara. 2006. Selamatkan
Putra/i Anda dari ”Bullying”. (Online). Tersedia: http://www.antara.co.id/print/index.php?id=33112.
(5 Mei 2007).
Berry, J.W. (1982) "Let's Talk About Teasing." Newark, NJ: Peter Pan
Industries.
Charach,
A., Pepler, D., & Ziegler, S. (1995). Bullying at School: A Canadian perspective. Education Canada , 35, 12-18.
Caroline, Eugeenicia.
(tanpa tahun). Teror di
Lingkungan Sekolah. (Online). Tersedia: http://www.mail-archive.com/bumi-serpong@yahoogroups.com/
msg00750.html. (15 Juni 2007).
Coloroso, Barbara. 2006. Penindas, Tertindas, dan Penonton; Resep
Memutus Rantai Kekerasan Anak dari Prasekolah hingga SMU. Jakarta: Serambi
Ilmu Pustaka.
Craig,
W. & Pepler, D. (1997). Observations of bullying and victimization in the
schoolyard. Canadian Journal of School Psychology , 2, 41-60.
Craig,
W. M. (1998). The relationship among aggression types, depression, and anxiety
in bullies, victims, and bully/victims. Personality and Individual
Differences, 24, 123-130.
Craig,
W. M., & Pepler, D.J. (1997). Observations of bullying and victimization in
the school yard. Canadian Journal of School Psychology. 13, 41-59.
Craig,
W. M., Pepler, D. J., Atlas, R. (2000). Observations of bullying on the
playground and in the classroom. International Journal of School Psychology,
21, 22-36.
Craig,
W., & Pepler, D. (1995). Peer processes in bullying and victimization: An
observational study. Exceptionality Education Canada , 5, 81-95.
Craig.
W.M. & Pepler, D.J. (1996). Bullying and victimization at school: What can
we do about it? In S.Miller, J. Brodine, & T. Miller (Eds.) Safe by
Design: Planning for Peaceful School Communities. Seattle , WA :
Committee for Children, 205-230.
Departemen Pendidikan Nasional & UNICEF. 2006. Pedoman Pelatihan untuk Guru tentang
Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Sekolah.
Djuwita, Ratna. 2006. Kekerasan
Tersembunyi di Sekolah: Aspek-aspek Psikososial dari Bullying. Makalah dalam Workshop Bullying: Masalah Tersembunyi dalam Dunia Pendidikan di
Indonesia. Jakarta
29 April 2006 .
Espelage, Dorothy L. 2002. Bullying
in Early Adolescense.(Online). Tersedia: http://www.athealth.com/Consumer/disorders/bullying.html.(15 Juni 2007).
Espelage, Dorothy. L & Swearer, Susan.
M. (2004). Bullying in American School. Lawrence Erlbaum Associates : Mahwah,
New Jersey.
Gunawan, Helmi. 2007.
Tindakan Kekerasan di Lingkungan Sekolah.
Artikel pada Pikiran Rakyat
(5 Juli 2007).
Huraerah, Abu. 2006. Kekerasan terhadap Anak: Fenomena Masalah Sosial Kritis di Indonesia.
Bandung: Nuansa.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan.(2006. PBB: Angka Kekerasan
Anak di Indonesia Tinggi. (Online). Tersedia: http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=media&dat=495. (5 Mei 2007).
National Children’s Bureau
on Behalf of the Anti-Bullying Alliance. 2005. 50 Ideas for Anti-Bullying Week.
(Online). Tersedia: http://www.anti-bullyingalliance.org. (5 Mei 2007).
Northwest Regional
Educational Laboratory. 2001. Schoolwide Prevention of Bullying. (Online). Tersedia: http://www.nwrel.org/request. (5 Mei
2007).
Newman, D.A., Horne, A.M., &
Bartolomucci, L. (2000). Bully busters: A teacher’s manual for helping bullies, victims,
and bystanders. Champaign , IL : Research Press.
Nuraini, R. (2008). Perilaku Bullying di
Sekolah Menengah Pertama. Skripsi di Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
UPI Bandung. : tidak diterbitkan.
O’Moore, Mona & Minton, Stephen. J.
(2004). Dealing with Bullying in Schools. Paul Chapman Publishing: London.
Olweus, D. (1993) Bullying at school:
What we know and what we can do. Oxford : Blackwell.
Olweus, Dan. 2005.
Bullying Intervention
Strategies That Work.
(Online). Tersedia: http://www.educationworld.com/a_issues/issues/issues103.shtml (15 Juni 2007).
Olweus,
D. (1991). Bully/victim problems among school children: Basic facts and effects
of a school based intervention program. In D. Pepler and K. Rubin (Eds.). The
development and treatment of childhood aggression. Hillsdale: Lawrence Erlbaum
Associates. pp. 411-448.
Pepler, D. & Craig, W. (1997).
Bullying: Research and Interventions. Youth Update,
Institute for the Study of
Antisocial Youth.
Pikas,
A. (1989) The common concern method for the treatment of mobbing. In E.Roland
& E.Munthe (Eds.) Bullying: An International Perspective London : David Fulton.
pp.91-104.
Purbo, Adriani. 2006. Premanisme di kalangan Siswa Sekolah Dasar. (Online).
Tersedia: http://www.sahabatnestle.co.id/homev2/main/dunia-dancow/
tksk_sd.asp?id=1414. (15 Juni 2007).
Purwadi, Imam, et.al. Tanpa Tahun. Hentikan
Kekerasan pada Anak. Mataram: Kerjasama LPA NTB dengan UNICEF.
Quiroz, HC., et.al. 2006. Bullying
in Schools; Fighting the Bully Battle .
(Online). Tersedia: http://www.schoolsafety.us/pubfiles/bullying
chalk talk.pdf. (5 Mei 2007).
Riauskina, I. I., Djuwita, R., dan Soesetio,
S. R. (2005). ”Gencet-gencetan” di mata siswa/siswi kelas 1 SMA: Naskah
kognitif tentang arti, skenario, dan dampak ”gencet-gencetan”. Jurnal Psikologi Sosial, 12 (01), 1 –
13.
Rigby, Ken. (2005). The Anti-Bullying and Teasing Book.
Gryphon House, Inc. : Australia .
Rigby, Ken. (2002). New Perspectives on
Bullying. Jessica Kingsley Publishers: London .
Robinson,
G. & Maines, B. (1997). Crying for Help: The No Blame Approach to
Bullying. Bristol :
Lucky Duck Publishing Ltd.
Salmivalli,
C., Huttunen, A., & Lagerspetz, J. (1997). Peer networks and bullying in schools. Scandinavian Journal of Psychology, 38,
305-312.
Sanders, Cherryl E. & Gary D. Phye
(Eds.). 2004. Bullying
Implication for The Classroom. California :
Elsevier Academic Press.
Schmidt. John J. 1999. Counseling
in School: Essential Services and Comprehensive Programs 3rd ed.
Boston : Allyn
and Bacon.
Star, Linda. 2000. Sticks and
Stones and Names Can Hurt You:
De-Myth-tifying the Classroom Bully!
(Online) Tersedia: http://www.educationworld.com/a_issues/issues102.shtml.
(15 Juni 2007).
Susanti, Inda. 2006. Bullying
Bikin Anak Depresi
dan Bunuh Diri. (Online). Tersedia: http://www.kpai.go.id/mn_access.php?to=2-artikel&sub=kpai_2-artikel_bd.html . (15 Juni 2007).
Smith,
P.K., & Sharp, S, (1994) Tackling Bullying at Your School: A Practical
Handbook for Teachers. London :
Routledge.
Star, Linda. 2000. Sticks and
Stones and Names Can Hurt You:
De-Myth-tifying the Classroom Bully!
(Online) Tersedia: http://www.educationworld.com/a_issues/issues102.shtml. (15 Juni 2007).
Stones, R. (1993). "Don't Pick On Me: How to Handle
Bullying." Markham , Ontario : Pembrok Publishers.
Supriyadi, Drs..
2006. Bullying; Apa itu?.
(Online). Tersedia: http://www.pendidikan.com/artikel-cetak/0704/14/Fokus/3456001.htm.
(15 Juni 2007).
Tanpanama.2006.Jaringan untuk
Cegah Kekerasan. (Online).Tersedia: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0704/14/Fokus/3456001.htm.
(15 Juni 2007).
Prihatin dengan bullying.
BalasHapusbullying berunjuk kriminal
BalasHapus